Lihat ke Halaman Asli

Bert Toar Polii (Bertje)

Atlet, Pelatih, Jurnalis Bridge

Cara Tukang Bridge Melestarikan Bahasa Tondano

Diperbarui: 2 Januari 2023   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cara Tukang Bridge Melestarikan Bahasa Tondano

Oleh : Bert Toar Polii

Saya menyelesaikan sekolah hingga SMA di Tondano. SD saya selesaikan tahun 1965 di SDN II Rinegetan Tondano kemudian dilanjutkan di SMP Negeri I Tondano dan berlanjut ke SMANTO yang kebetulan pada waktu itu masih satu lokasi di dekat Gereja Sentrum. Nanti tahun 1971 baru pindah ke Menado ketika sempat kuliah di Unsrat.

Selama itu saya tidak pernah mendapat pelajaran Bahasa Tondano bahkan terkesan seolah-olah kalau kita berbicara Bahasa Tondano adalah kampungan. Namun, dirumah sedikit-sedikit mendapat pengetahuan tentang Bahasa Tondano dari Oma. Opa serta Ortu yang masih lancar ber Bahasa Tondano.

Selanjutnya saya merantau ke Jakarta tahun 1977 dan disinilah mulai terasa betapa menyesalnya tidak mempelajari Bahasa Tondano sebelumnya. Kenapa, karena dilingkungan saya penggemar olahraga bridge ada beberapa pemain yang berasal dari Tondano dan mereka sangat fasih menggunakan Bahasa Tondano. Ada Almarhum Bob Pangerapan, Frans Waleleng dan WD Karamoy dan lain-lain. Berkat pertemanan dengan mereka akhirnya bertambah perbendaharaan Bahasa Tondano yang saya miliki.

Ada kebanggaan tersendiri ketika mudik, membuat keluarga kaget karena saya menggunakan Bahasa Tondano padahal sebelumnya mereka tahu saya sangat sedikit menguasai bahasa ini.

Bahasa Tondano dan Facebook

Selanjutnya pada akhir tahun 2008 saya mulai berkecimpung aktif di Facebook dan kemudian membaca salah satu artikel yang menulis sebagai berikut : "Di Indonesia ada 109 bahasa daerah belum termasuk Papua dan sebagian besar terancam kepunahan. Menurut data UNESCO, setiap tahun ada sepuluh bahasa di dunia ini yang punah. Pada abad ke-21 ini, diperkirakan laju kepunahan bahasa akan lebih cepat lagi. Di antara 6.000 lebih bahasa yang ada di dunia pada abad ke-20, hanya tinggal 600-3.000 bahasa saja yang masih dapat bertahan menjelang abad ke-21 ini. Dari 6.000 bahasa di dunia itu, sekitar separuh adalah bahasa yang dengan jumlah penutur tidak sampai 10.000 orang, dan seperempatnya lagi kurang dari 1.000 penutur. Padahal, salah satu syarat lestarinya sebuah bahasa adalah jika penuturnya mencapai 100.000 orang. Salah satu bahasa daerah yang terancam punah adalah bahasa bahasa Tondano".

Kalimat terakhir sungguh menggelitik sanubari saya. Bahasa ibu saya akan punah? Apakah harus dibiarkan seperti itu? Padahal bahasa merupakan alat komunikasi yang berhubungan erat dengan budaya bangsa. Pada era globalisasi dan modernisasi dewasa ini, secara cepat maupun lambat perubahan zaman telah banyak mengikis nilai-nilai budaya yang selama ini telah mengakar di masyarakat. Karena bahasa terkait erat dengan budaya maka otomatis hal ini berdampak pada bahasa daerah.

Tergelitik akan hal ini maka saya secara nekat mendirikan Group Lestarikan Bahasa Tondano di Facebook pada akhir Nopember 2008. Ternyata gayung bersambut terutama saat saya bertemu pakar Bahasa Tondano, Boeng Dotulong yang juga sudah mulai risau akan keberadaan Bahasa Tondano.

Berkat bantuan Bong Dotulong kita bisa mengetahui bahasa "makatana" istilah popular yang digunakan untuk bahasa daerah secara baik dan benar. Apalagi setelah melihat kegigihan saya melestarikan Bahasa Tondano ia terpacu menyelesaikan Kamus Bahasa Toundano yang sudah lama terbengkalai. Setelah terbitnya kamus ini maka pekerjaan melestarikan Bahasa Tondano selanjutnya menjadi lebih mudah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline