Siang itu saya dan beberapa anggota keluarga saya hendak mencari tempat makan yang enak sembari jalan-jalan akhir pekan. Sampailah kami di sebuah restoran yang cukup ternama di daerah tengah kota. Begitu kami hendak masuk, seorang pelayan mengarahkan kami ke kompartmen lain dari restoran itu yang dibatasi sebuah tembok. Saya ingat dia bilang "mas, bisa duduk di bagian sana ya, yang disini lagi direnovasi."
Pesan yang sampai di telinga saya "mas, yang disini tempat duduk untuk expat dan turis asing, silahkan duduk disana yang untuk orang lokal." Tidak penting akhirnya kami lanjut makan disana atau tidak, karena dari pengalaman itu saya melihat adanya gap ketidaksetaraan antara turis asing dan penduduk lokal yang sengaja dijaga keberadaannya.
Akar dari gap ketidaksetaraan rasial ini memang punya akar historis panjang dan dialami banyak negara bekas jajahan koloni. Hal tersebut melahirkan sebuah ketimpangan: apa-apa yang bernuansa Barat dianggap lebih keren, lebih diakui, dan lebih berharga daripada yang lain. Bukannya jengkel, saya malah sedih jika masih ada diskriminasi antara kelompok yang dianggap first class citizen dan second class citizen di dunia modern ini, seolah kita belum move-on dari zaman kakek-nenek buyut kita dimana gap tersebut ada dengan sangat kental.
Menurut pemikiran sederhana saya, usaha menghadirkan kesetaraan rasial ini sangat bisa diusahakan di dalam teritori dan masyarakat kita sendiri. Setidaknya kesetaraan itu sangat hadir dalam ruang-ruang kelas studi antar budaya, ruang kelas bahasa asing, forum-forum pertemuan pelajar dan mahasiswa luar negeri, forum-forum expat di Indonesia, forum-forum kesenian antar budaya internasional, komunitas backpacker mancanegara, dan ruang-ruang serupa lainnya. Sayangnya kesetaraan rasial macam itu belum selalu hadir di tempat-tempat lain di masyarakat yang lebih umum.
Memang, usaha merobohkan tembok-tembok diskriminatif yang telah berdiri selama sekian generasi dalam benak banyak orang merupakan hal yang sangat menantang. Mungkin dibutuhkan waktu beberapa generasi juga sampai kesetaraan rasial itu dapat eksis berdiri dengan lebih kuat di berbagai kalangan masyarakat.
Perjuangan mencapai kesetaraan rasial bukan barang baru dan sudah sangat banyak tokoh serta gerakan modern yang memperjuangkan kesetaraan, seperti Nelson Mandela, Martin Luther King, dan gerakan #BLM contohnya. Bayangkan saja jika suatu saat di masa depan ketidaksetaraan ras tidak lagi disuarakan, maka kesetaraan ras itu sendiri sudah berhasil kita capai. Semoga situasi itu tidak terlalu utopis untuk dibayangkan ya.
Sembari melihat ketidaksetaraan itu dengan sinis, saya melihat kesetaraan rasial itu lahir dari pemahaman pribadi terlebih dahulu. Melalui sosial media pun kita dapat melihat bahwa kita adalah warga dunia yang melampaui batas-batas kota, negara, maupun wilayah, dan menjadikan kita bagian dari satu keluarga dunia yang besar. Dalam sudut pandang kosmopolitan itu, saya percaya rasa keterikatan secara universal terhadap orang lain dapat mendukung adanya kesetaraan rasial itu sendiri.
Saya juga tidak mau naif bahwa diskriminasi dan ketidaksetaraan itu juga akan selalu ada di ruang-ruang dalam masyarakat, namun bukan berarti hal itu dapat saya terima sebagai hal wajar. Jika saja semua orang dapat melihat bahwa gap rasial itu bukan sebuah norma yang layak dipelihara, bahwa satu ras sama tingginya dengan ras yang lain, bahwa kita semua adalah bagian dari kesatuan warga dunia dalam kebersamaan, dan semua orang dapat makan di meja yang berdampingan tanpa dibatasi oleh tembok yang mengkotak-kotakan dari mana mereka berasal, maka waktu itu mungkin saya tidak akan merasa jengkel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H