Lihat ke Halaman Asli

Jejak Manusia Jawa dalam Kegelisahan Silsilah Bambang Widiatmoko

Diperbarui: 25 Oktober 2022   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara mengenai silsilah tentu ingatan kita melayang pada gambaran pohon keluarga, genealogi yang secara umum terpateri sejak usia kanak-kanak hingga menua. Menurut KBBI online "silsilah/sil*si*lah/ n 1 asal-usul suatu keluarga berupa bagan; susur galur (keturunan): menurut -- nya, ia berasal dari keluarga baik-baik; 2 catatan yang menggambarkan hubungan keluarga ternak sampai beberapa generasi" (https://kbbi.web.id/silsilah, 2021) Silsilah dalam pembahasan ini mungkin saja tidak akan berbicara tentang nasab atau keturunan secara detail namun akan jauh melampaui batasan masa. Mengapa? Karena pembahasan silsilah ini didasarkan pada buku puisi Bambang Widiatmoko yang bertajuk "Silsilah yang Gelisah". 

Bambang Widiatmoko, penyair kelahiran Yogyakarta yang berprofesi sebagai dosen Universitas Mercu Buana sekaligus peneliti tradisi lisan ini telah melahirkan banyak buku puisi. Tema pembahasan kali ini diangkat dari bukunya yang ke sekian. "Silsilah yang Gelisah" diterbitkan tahun 2017 oleh Penerbit Kosa Kata Kita (KKK) Jakarta. Buku setebal 168 halaman ini berbicara mengenai banyak hal. Namun dalam buku ini kentara sekali bahwa aroma Jawa mewakili totalitas Bambang Widiatmoko sebagai penyair. Hal ini terjadi karena latar belakang budaya dan kreativitas yang menyatu dalam diri penyairnya. Sebagaimana dinyatakan bahwa "sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, sebuah karya seni" (Wellek & Warren, 2016) maka itulah yang dilakukan oleh Bambang Widoatmoko dengan dominasi kegelisahan silsilahnya sebagai manusia Jawa.

Dominasi tulisan Bambang Widiatmoko dengan kejawaannya tercermin dalam puisi pertama dan kedua dengan judul sama "Akulah Manusia Jawa"

"Akulah manusia Jawa, generasi penerus Pithecantropus Erectus

Nenek moyangku terkubur di bumiSangiran ribuan tahun lalu

Lalu aku merangkak dan tumbuh tegak bersama pepohonan

Akarnya menembus jauh melintasi daratan" (Widiatmoko, 2017)

Penggalan puisi "Akulah Manusia Jawa,1" tersebut menguatkan identitas Bambang Widiatmoko sebagai manusia Jawa. Dengan menempatkan puisi tersebut di halaman 1 dan 2, seakan Bambang Widiatmoko ingin menguatkan silsilahnya bahwa ia benar-benar manusia Jawa yang dikuatkan dengan bukti arkeologis situs Sangiran dan penyebutan Pithecantropus Erectus secara gamblang. "Temuan pertama manusia purba pada tahun 1891 yang akhimya melegenda di dunia -Pithecanthropus erectus- berasal dari endapan volkanik Kala Plestosen Tengah dijajaran Pegunungan Kendeng di Trinil, Ngawi, yang telah menjadikan polemik panjang pada akhir abad 19." (Widianto, 2006). Sebagaimana dikatakan bahwa "sajak yang baik merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan manusia dengan segala pengalaman dan suka-dukanya" (Teeuw, 1983) maka puisi pertama Bambang Widiatmoko merupakan bangunan bahasa yang mempunyai otoritas dalam pernyataannya sebagai manusia Jawa. 

Sangiran kembali muncul dalam puisi "Jejak Kubur" di halaman 6. Meskipun dalam puisi ini terdapat terdapat lokasi lain seperti bengawan Solo, pegunungan Kendeng, bahkan Gunung Lawu namun pencarian Bambang Widiatmoko tetap terfokus pada jejak di Sangiran yang telah membatu (Widiatmoko, 2017). Ini menjelaskan bahwa ke mana pun Bambang Widiatmoko pergi, tujuan utamanya tetaplah mencari silsilahnya sebagai manusia Jawa. Hal ini tercermin dari penggalan puisinya sebagai berikut:

"Aku telah merasa lelah mencari jejakmu

Di sepanjang aliran bengawan Solo, di pegunungan Kendeng

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline