Lihat ke Halaman Asli

Pelangi di Kaki Bukit

Diperbarui: 11 Agustus 2020   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Di sinilah Jaka Tarub mencuri selendang Nawang Wulan," kata nenek Sari sambil mengibaskan selendang tarinya. Spontan Riris, Ajeng, Alya, Iza dan Kayla duduk melingkar sambil mengikatkan selendang tari mereka di pinggang. Nenek Sari yang masih tampak cantik dan lincah melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat. 

"Dan setelah selendangnya ditemukan di lumbung padi, pulanglah Nawang Wulan ke kayangan. Jaka Tarub hanya dapat menyesali kecerobohannya. Seandainya Jaka Tarub mematuhi pesan Nawang Wulan untuk tidak membuka periuk nasi, tentulah Nawang Sasi masih memiliki ibu."

Malam itu bulan purnama. Piringan berwarna kuning emas membuat ujung selendang tari nenek Sari tampak berkilauan ditimpa cahaya bulan. "Coba lihat bulan purnama itu!" Sambil mengibaskan kembali selendang tarinya, nenek Sari memandang persis ke arah bulan yang bundar sempurna. Wajah nenek Sari berseri-seri. Riris berbisik di telinga Alya, "Aneh sekali nenek Sari malam ini." Alya mengedikkan bahunya, "Dengarkan dulu ceritanya!"

Lampu sorot menerangi panggung. Tujuh bidadari berselendang aneka warna turun ke bumi. Di kaki bukit yang hijau itu terdapat sebuah danau kecil. Orang desa menyebutnya sendang. Kecipak air terdengar semakin jelas, bersamaan dengan iringan musik yang makin menghilang. 

Selendang beraneka warna berkilauan seumpama pelangi. Sayup-sayup terdengar suara riang para bidadari berenang di sendang. Musik perlahan mengeras, lalu tiba-tiba menghentak seiring melesatnya para bidadari dengan selendangnya.

"Semakin sering Jaka Tarub melihat pelangi di kaki bukit, semakin penasaran ia. Sore itu sehabis hujan, kembali Jaka Tarub melihatnya." Nenek Sari menyesap teh hijau kegemarannya. Ajeng masuk ke dalam rumah dan keluar lagi membawa seloyang bolu pisang keju yang masih hangat. 

Langit sore membiaskan warna lembayung di ufuk barat. Sebentar lagi matahari terbenam, meninggalkan keriuhan cericit burung yang beterbangan pulang ke sarang masing-masing. Nenek Sari kembali melanjutkan ceritanya.

Pencahayaan panggung sedikit meremang. Jaka Tarub mengendap-endap. Sekilas warna pelangi menerpa wajahnya. Silau sejenak, namun ia kembali fokus pada perannya. Kecipak air terdengar lagi, diseling senda-gurau bidadari yang tengah mandi. Dengan selendang ungu di balik kain lurik yang dipakainya, Jaka Tarub beranjak pergi. 

Irama musik semakin perlahan seiring sepinya suasana sendang. Jaka Tarub perlahan melangkahkan kaki, namun urung karena terdengar isak tangis dari balik rimbunan semak di tepi sendang. Lampu sorot berputar, tampak seorang gadis bersimpuh sendirian.

"Gadis itu menangis kehilangan selendang ungunya. Karena warna ungu merupakan warna terakhir busur pelangi, maka ia mendapat giliran terakhir untuk pulang. Naas, selendang ungunya hilang." Nenek Sari memandang ke arah langit. Bulan bundar itu  tampak semakin mengecil karena posisinya semakin meninggi. 

Iza dan Kayla saling berebut bolu yang tinggal sepotong. Nenek Sari tersenyum. Diulurkannya sepotong bolu dari tatakan cangkir tehnya kepada Kayla sehingga Iza dapat menikmati potongan bolu terakhir dari loyang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline