Lihat ke Halaman Asli

Nyorog, Tradisi Wajib bagi Keluarga Betawi di Wilayah Tarumajaya Bekasi

Diperbarui: 5 Mei 2019   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meskipun sudah belasan tahun tinggal dan bergaul dengan penduduk asli Betawi di wilayah kecamatan Tarumajaya kabupaten Bekasi, saya masih sering terkaget-kaget dengan budaya Betawi yang sudah turun-temurun di daerah ini. 

Kemarin, hari terakhir masuk kerja sebelum libur awal Ramadhan, rekan sekerja saya dengan penghasilan standard seperti saya sempat melontarkan keluhan bahwa awal bulan puasa dan lebaran merupakan beban berat baginya. Bagaimana tidak? Awal puasa adalah waktunya anak dan menantu melaksanakan kewajiban nyorog semua orang tua dan mertua. Bentuk sorogan pun bukan sekedar kue-kue atau makanan sekedarnya, namun telah menjadi aturan umum keluarga Betawi di wilayah itu. 

Nyorog adalah kewajiban anak dan menantu untuk memberikan hantaran kepada orang tua dan mertua. Bagi keluarga Betawi di wilayah Tarumajaya, budaya ini telah menjadi bagian hidup mereka sejak zaman nenek moyang. Ukuran sorogan yang harus dipenuhi pun tak tanggung-tanggung. Pada tahap pertama sebelum masuk bulan puasa, anak dan menantu harus mengantarkan barang-barang keperluan memasak sebagai persiapan menyambut Ramadhan. Bentuknya biasanya berupa beberapa kilogram daging sapi lengkap dengan bumbu-bumbu serta bahan makanan lain.

Semakin mendekati Hari Raya Idul Fitri,  anak dan menantu wajib menyediakan sorogan lain berupa perlengkapan untuk menyambut lebaran seperti paket kue-kue, sirup, dan tak ketinggalan baju lebaran yang akan dipakai oleh orang tua dan mertua. Ketika bulan Ramadhan mencapai akhir, kembali anak dan menantu harus menyorog daging beserta bumbu dan bahan kebutuhan lain untuk menyambut lebaran. 

Mungkin bagi keluarga Betawi asli dengan penghasilan yang baik, tradisi tersebut tidaklah menjadi beban dan bisa dilaksanakan sebagai perwujudan rasa cinta dan peduli seorang anak dan menantu kepada orang tua dan mertua. Namun bagi keluarga yang berpenghasilan pas-pasan seperti pada kasus rekan saya tersebut di atas, alangkah baiknya budaya ini disesuaikan dengan kemampuan keluarga anak dan menantu sehingga pelaksanaan tradisi positif tersebut tetap menyimbolkan hubungan kasih sayang yang erat antara anak dan orang tua namun tetap mempertimbangkan kemampuan agar tidak menjadi beban berat bagi si anak dan menantu. 

Wallahua'lam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline