Seperempat abad bukanlah waktu yang singkat
coba kalikan dengan tiga ratus enam puluh lima hari
ditambah satu empat tahun sekali
mungkin tubuh-tubuh kita sudah jamuran
disimpan dalam kelembaban angan
Adakah kaupahami?
peristiwa di perempatan pelangi
terasa menghunjam sampai ke dasar hati
kian lama kian memadat, tergilas putaran hari
-seperti jalan makadam yang selalu kita lewati-
meski pori-pori tetap menyerap hujan
justru terasa kian mencengkeram
Sesingkat perjalanan kita -di ranah asmara-
tiada seujung kuku;
dibandingkan perjalanan seperempat abad kita
-menggandeng gerbong-gerbong kereta kita masing-masing-
nampaknya kita sudah saling melupakan
Namun seperti spora jamur dalam naungan kelembaban
jiwa-jiwa kita yang saling bertautan
seakan tak berhenti mencari
dia tetap tumbuh di sela-sela akar
di keremangan pagi dan petang
Di perempatan pelangi -hanyalah secuil drama abadi-
kauantar aku pulang, lalu kau selamanya menghilang
Musim-musim yang terus bergilir,
mengendapkan segala unsur yang terkubur
memadat dan memadat di dasar jiwa
seiring bergulirnya matahari -yang terasa menggerinda hati-
Kuingat rengkuh ragumu di jok warna kelabu
namun matamu berpendar bak pelangi
terasa menggerus perasaan -seperti mimpi-
setengah terjaga, tetap kutiti hari-hari -menunggumu kembali-
Seperempat abad kini; kau memang kembali
dengan kerut wajah menua; namun dengan cinta yang sama
aku tak mampu tak tergoda
menghidupkan kenangan,
-dengan sukma dan raga yang berseberangan-
Meski kita sama: takkan berhenti di perempatan pelangi lagi
Meski kita sama: tetap melarak gerbong-gerbong kita
ke jurusan yang berbeda
Namun di stasiun ini, kita tak bisa menahan hati
untuk saling memuntahkan mimpi
untuk saling mengabarkan rindu -yang terkubur kaku-