“Jangan mudah tergelincir dalam saat-saat seperti ini, segala tipu muslihat dan provokasi-provokasi yang tampak atau tersembunyi dapat dilalui dengan selamat, kalau kita waspada dan bertindak sebagai patriot.”
Hari Pahlawan (Kamis, 10 November 2016), kami mendapat kehormatan diundang Pak Mitro. Meskipun sudah disampaikan perihal isi SMS-nya yang dipublikasikan ke media-sosial Kompasiana (Testimoni Jenderal Soleh, Bukan untuk Ahok), saya memandang undangan itu adalah kehormatan dan historical, untuk tidak sekedar temu-kangen untuk bertemu Pak Mitro tapi berdiskursus biar sebentar. Maka refleksi singkat nan bermakna di bawah inilah yang didapat dari Jenderal 'Soleh', selain dengan kerendahan hati menghantar kami kembali ke spot pertemuan lainya. Hormat tulus Jenderal.
Usianya yang bertambah tidak simetris dengan tampilan fisiknya yang malah lebih segar – entah karena pancaran bathinnya, ketika saya akhirnya berkomentar, “Pak Mitro terlihat lebih muda dan tegap dibanding hampir tiga tahun silam”. “Bukan hanya mas Berthy yang mengatakan itu”. “Nah, benar berarti, Pak”. Kami bercakap-cakap ketika awal diskursus itu.
Terus Bekerja Merawat Kebangsaan
Bercengkrama hampir dua jam, ‘Jenderal Soleh’ menekankan pentingnya terus bekerja merawat kebangsaan lewat relijiusitas yang sehat sebagai bangsa Indonesia.
Mantan Panglima Armada Timur itu menekankan betapa masa depan bangsa Indonesia dibangun dalam kebhinekaan dan saling ketergantungan antar lintas golongan, etnis, suku, budaya.
Sebagai orang belajar filsafat, saya terkejut dan kagum, ketika Pak Mitro dengan tegas dan lantang bicara Das Kapital tulisan Karl Marx yang ribuan halaman itu.
“Dulu (sebelumnya), kapital (pernah) digunakan untuk memanipulasi manusia. Namun, Jaman berubah, kita percaya kini kapital digunakan untuk menghidupi banyak orang. Ya, aspek sosial modal (capital) makin bermakna dan disadari bagi kehidupan lebih banyak orang.”
Pragmatisme lain dari filsafat yang digunakan ‘Jenderal Soleh’ yang menunjukkan kedalaman permenungan relijiusitasnya dan jenderal bintang tiga yang disandangnya, dalam bentuk analogi sederhana nan dalam, lewat dialog ini:
“Mas Berthy, kalau Anda lapar, saya kenyang, siapa yang tahu?”
“Hanya, kita berdua yang tahu masing-masing keadaan kita dan Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kuasa”.