Lihat ke Halaman Asli

Berthy B Rahawarin

TERVERIFIKASI

"Catatan untuk SBY", Awal Suatu Kontradiksi?

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13426603292118953342

[caption id="attachment_194966" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi: Adnan Buyung Nasution (sumber, Inilah.com)"][/caption]

Pernyataan Prof. DR. Iur Adnan Buyung Nasution (ABN), tentang kesetujuannya pada hukuman mati, dalam acara Andy Noya (Metro TV-Kick Andy) pekan silam, cukup mengejutkan, setidaknya untuk saya pribadi. Acara Kick Andy tersebut sepenuhnya membahas beberapa catatan kontroversial dan dianggap ‘bocoran’ rahasia jabatan ABN sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang dituangkan dalam bukunya “Nasihat untuk SBY”.

Saya tidak ikut mendebat kontroversi ‘bocornya rahasia’ jabatan itu. Yang amat mencemaskan saya adalah bagaimana ABN sebagai praktisi senior dan membela banyak orang (bersalah) di pengadilan, tiba-tiba di penghujung kariernya, malah berbalik mendukung “hukuman mati”. Sikap ini justeru merupakan semangat yang bertolak-belakang dengan upaya Amnesty Internasional untuk menghapus hukuman mati di dunia. Banyak negara perlahan, satu demi satu, menerima sikap untuk menghapus sama sekali hukuman mati di negaranya.

Sebagai praktisi hukum senior, ABN juga sebenarnya menulis beberapa seri Negara dalam paham Konstitusionalisme. Karena itu, singkat untuk mengatakan bahwa, mestinya paham konstitusioanalisme, terutama pasca lahirnya Deklarasi HAM 1948 yang menjiwai banyak amandamen konstitusional, termasuk Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) kemudian Konstitusi hasil Amandamen2, hukuman mati mestinya makin dipandang sebagai pelanggaran atas HAM yang dikawal Konstitusi, bukan terbalik memberi kesetujuan atas hukuman mati.

Pernyataan ABN itu dikemukakan saat Andi Noya menegaskan hukuman atas para pelaku tindak pidana korupsi. “Saya dulu menolak hukuman mati, tetapi sekarang saya menganggap hukuman mati dapat diterima”. Beberapa faktor kontekstual tulisan dan posisi ABN, justeru menempatkan pernyataan kesetujuan itu merupakan bentuk kontradiktif. Betapa pun kita sedang dibuat gemas dengan hukuman yang teramat ringan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, situasi ini tidak pernah boleh melahirkan bentuk kejahatan lebih besar lainnya, yaitu hukuman mati terhadap pelaku korupsi. Karena, korupsi dalam teks-teks Indonesia telah disesatkan sebagai exstra-ordinary crime, sementara belahan dunia lain, kejahatan melawan kemanusiaan sekalipun, tidak ingin diganjar dengan eksekusi mati.

Kalimat Perdana Menteri China Zhu Rongji, “Buatlah 100 peti, 99 untuk koruptor, dan 1 untuk saya bila ikut melakukan”, bukanlah pernyataan kesetujuan langsung pada hukuman mati. Pesan dari sikap itu adalah hukumlah Zhu bila dia tidak konsisten dalam pemerintahan dan ikut melakukan korupsi. Zhu juga belum tentu menyetujui hukuman mati.

Maka, adalah bentuk kontradiksi bila di Indonesia yang masih berjuang dalam pluralisme hukum dan proses penegakkan hukum yang independen dari segala kepentingan, hukuman mati dapat menjadi sebatas balas dendam karena kepentingan pribadi atau politk primordialisme terpola.  Itu juga kekuatiran Amnesty Internasional tentang rentannya hukum menjadi pembenar kriminalitas oleh aparatur Negara.

Ketika Paradoks Menjadi Kontradiksi

Tentang hukuman dalam prakteknya bertentangan dengan HAM, Amnesty internasional menegaskan kekuatiran itu bahwa, “The time has come to abolish the death penalty worldwide. The case for abolition becomes more compelling with each passing year. Everywhere experience shows that executions brutalize those involved in the process. Nowhere has it been shown that the death penalty has any special power to reduce crime or political violence. In country after country, it is used disproportionately against the poor or against racial or ethnic minorities. It is also used as a tool of political repression. It is imposed and inflicted arbitrary. It is an irrevocable punishment, resulting inevitably in the execution of people innocent of any crime. It is a violation of fundamental human rights.

Labirin interpretasi hukum dalam masyarakat plural seperti Indonesia, amat mengejutkan pernyataan ABN, mantan Penasihat Presiden SBY. Justeru karena penegakkan hukum dan HAM dalam negara konstitusional, seperti sebagian dinyatakan ABN, adalah bentuk paradoksal yang kontradiktif. Artinya, dalam keadaan penegakkan hukum yang chaotic, koq kita berpikir membenarkan hukuman mati (death penalty). Bahkan, dalam negara-negara di mana hukum relatif ditegakkan secara konsisten oleh aparaturnya, hukuman mati bahkan ditolak, dengan tiga argumen fundamental: pertama, orang yang dihukum mati, amat mungkin menjalani salah vonis hakim yang tidak cermat; dan kedua, hukuman mati adalah an sich sebuah kejahatan yang lain, apa pun debatnya; dan ketiga, hanya Pencipta manusia yang menjadi ‘Pencabut’ nyawa manusia yang paling sempurna dan adil.

Penegakkan hukum atau law enforcement dalam pemerintahan Presiden SBY menjadi retorika politik atau sebatas lip-service. Itu juga sebagian unsurnya menjadi catatan ABN. Tetapi, dengan pembenaran hukuman mati di penghujung kariernya, konsistensi pembelaan hukum dan keadilan menjadi bentuk kontradiksi.

Penegakkan Hukum dalam pemerintahan Presiden SBY, indikator-indikator berbaurnya dengan keadilan hukum dengan interese (partai-)politik, hilangnya sekat ruang publik dan kemuliaan ruang privat, semisal ayat-ayat suci tercemar karena tercebur atau sengaja diceburkan dengan otoritas ayat-ayat Konstitusi di ruang publik, menjadikan inkonsistensi penegakkan hukum, untuk tidak mengatakan membahayakan Konstitusi.

Saya kagum pada konsistensi seorang Fadjroel Rahman, ketika ia bersikap kritis dan argumentatif mengkririk pelbagai pelanggaran konstitusi dan HAM, terutama terhadap (para) Presiden RI. Tetapi, dia sendiri menolak hukuman mati. Artinya, Presiden SBY, ataupun mereka yang dikritisi, tidak perlu cemas bila Fadjroel atau orang yang konsisten mengkritisi pelanggaran hukum dan Konstitusi, tapi konsisten dan tegas menolak hukuman mati.

Fadjroel Rahman dan saya berdiri di kesamaan sikap itu: menjaga paradoks law enforcement dan pembelaan HAM. Tentang mengkritisi Presiden dan menolak hukuman mati, Fadjroel dan saya berbeda dengan ABN. Penegakkan HAM dan law enforcement, termasuk terhadap para koruptor, sedang tampak menjadi bentuk kontradiksi di tangan ABN.

Penulis: Anggota sharing (alm) Ciil atau Sjahrir, Anggota Wantimpres bersama ABN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline