Lihat ke Halaman Asli

Berthy B Rahawarin

TERVERIFIKASI

Century dan Hambalang: Cuma Tambah Nol Koq...

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1340638772298431469

[caption id="attachment_190646" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi: Forum.Detik.com"][/caption]

Dalam kasus Hambalang, banyak hal dapat ditarik menjadi pelajaran. Tetapi, salah satu yang terpenting adalah berlipatnya anggaran mencapai sepuluh kali lipat, dari rencana dan perkiraan anggaran pertama. Mantan Menteri Olah Raga Adhyaksa Dhault yang memulai rencana lokasi Hambalang pada tahun 2007 dengan dana Rp. 128 milyar, di kemudian hari berubah menjadi Rp. 1,2 Trilyun, di bawah Menteri Olah Raga Andi Mallarangeng.

“Debat Publik” mantan Menpora Adhyaksa dan Menpora Andi meninggalkan beberapa fakta dan ketidak-jelasan, terutama tentang siapa bertanggung-jawab ketika membengkaknya rencana pembiayaan. Kalau hak budgeting sudah jelas, ada di tangan DPR. Maka, Dede ‘Miing’ Gumilar pun beberapa kali memberi klarifikasi, namun tetap tidak menjelaskan, hal kelipatan 10 itu terjadi.

Masyarakat berusaha menangkap, bahwa Rp, 1,2 Trilyun itu budgeting Multi-Years, jadi nantinya akan dikontrol – bukan tekhnis pelaksanaan, tetapi perkembangan proyek dan realisasi pendanaannya. “Multi-Years” jadi kata ‘alaqadabra’ dan tetap tidak menjelaskan mengapa Rp. 120 Milyar rencana semula, berubah wajah jadi “multi-years” sehingga, dana Hambalang diturunkan secara bertahap.

Yang jelas, ketika proyek bermasalah di lapangan, Adhyaksa tetap menganggap pola multi-years tidak ada dalam skema pendanaan proyek Hambalang, sehingga Adhyaksa mengakui tidak tahu menahu Hambalang dengan stempel Rp. 1,2 Trilyun. Juga, bahwa dengan bangunan-bangunan yang disesuaikan dengan kontur tanah.

Seberapa benar perkataan Menpora Andi Mallarangeng, bahwa proyek Hambalang berasal dari Menpora terdahulu? Secara hukum (Perdata), ketika Proyek Hambalang telah diubah secara drastis, maka Adhyaksa sama sekali tidak bertanggung-jawab lagi atas proyek dimaksud. Bukan hanya soal berubahnya pola pendanaan dan besarannya, tetapi hal fundamental dan prinsipil adalah bahwa Hambalang versi mantan Menpora Adhyaksa telah dinyatakan tidak ada (secara hukum), dan digantikan dengan Hambalang versi Menpora Mallarangeng dengan segala konsekuensi (hukum) plus kekisruhannya. Bukan hanya “plus zero”-nya.

Operasi kelipatan 10, atau bertambahnya “HANYA” satu angka “nol” di belakang budgeting pertama, kemudian diduga menjadi “modus operandi” tidak biasa, dalam budgeting DPR dengan Proyek Hambalang. Penjelasan tentang ‘missing link’ perubahan itu penting, agar rakyat mengetahui, entahkan DPR yang mengklaim mewakili Rakyat, telah bertindak sesuai hak konstitusional budgetingnya. Apakah DPR bekerja sendirian, ataukah dengan kekuatan Menteri dan ‘supra’ Kabinet? Tambah satu “nol” bukan “nothing”, sebaliknya “anythings”, motif pikiran yang merasuk planned criminal actor.

Modus operandi proyek Hambalang sebenarnya juga antara lain terjadi dalam Kasus Century. Seperti disinyalir International Corruption Watch (ICW), Kasus Century terjadi pada masa Pemilu Legislatif dan Presiden. Karena itu, motif politik oleh kekuatan politik tidak dapat ditinggalkan dalam kasus Century. Ketika mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan “bail out” Century hanya mencapai Rp 670 Milyar, ajaibnya, angka yang sama berubah menjadi Rp. 6,7 Trilyun.

Paralelisme waktu, kepentingan politik pemilu 2009, dan operasi kelipatan 10, berulang disinyalir terjadi pada Hambalang dan Century. Mungkin bukan hanya itu. Tapi, setidaknya masyarakat akan makin memahami adanya kekuatan operasional tak kelihatan (invisible hand), yang bahkan mengorbankan para pembantu Presiden.

Lumrah, menyimpulkan bahwa mantan Menpora Adhyaksa Dault dan mantan Menkeu Sri Mulyani di-fait-accompli dan dijebak dalam situasi itu. Dalam kasus Hambalang Adhyaksa relatif muda membela diri. Kasus Hambalang memberi kita satu pelajaran penting, bagaimana kekuatan-kekuatan 'supra'-kabinet bermetamorfosa dalam aksi koruptif, hal yang terjadi juga dalam Kasus Century. Pembelaan dan dukungan terhadap mantan Menkeu Sri Mulyani, sebagaimana posisi hukum Adhyaksa,  makin ditegaskan.

Ini hanya salah satu cara memahami kompleksitas Kasus Century. Masyarakat awam makin percaya pada sejumlah orang beintegritas dan committed yang patut dipercaya ucapan dan tindakannya. Adhyaksa boleh disebut. Tapi terutama, Sri Mulyani, yang mantan Menkeu dan sekarang Managing Director Bank Dunia, (moga) makin dipahami (masyarakat).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline