Lihat ke Halaman Asli

Berthy B Rahawarin

TERVERIFIKASI

Nota Hukum 2011: Bebaskan Antasari, Islah Pemberantasan Korupsi Struktural

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari terakhir 2011. Jika ditanya, apa yang ingin saya katakan? Jawaban saya: Bebaskan Antasari Azhar dari segala tuduhan. Mari memulai islah dan ikhtiar bersama menuju masa depan Indonesia yang bermartabat.

Mengapa Antasari Azhar mutlak dibebaskan? Pertama, karena telah menumpuk pelbagai alasan terjadinya peradilan yang dipandang sesat dan penuh rekayasa terhadap seorang Antasari, terkait cinta ‘palsu’ segitiga Rani dan almarhu Nazarudn Zulkarnaen.

Kedua, dengan membebaskan Antasari Azhar beban penegak hukum menjadi lebih ringan, karena kasus Antasari menjadi ganjalan dalam segala itikad baik membangun upaya pemberantasan korupsi, justeru karena Antasari ketika sedang menjadi ketua KPK, terlampau tajam pedang pengiris hitam-putih korupsi.

Ketiga, pembebasan Antasari dapat berarti dimulainya sebuah islah politik untuk menata kembali KPK dalam design lebih besar dan integratif pemberantasan korupsi struktural dan berjamaah.

Sebaliknya, keempat, kampanye pemberantasan korupsi dengan membiarkan Antasari diterali-besikan, mencoreng keadilan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Indonesia adalah bangsa pengampun dan pemaaf, bila sebuah taubah nyata dalam tindakan.

Pengadilan kepanikan itu sebaiknya segera diakhiri Arifin A Tumpa, yang ditugaskan menjadi hakim ketua PK Antasari Azhar. Karena, segala upaya islah hukum dan politik terganjal nasib seorang Antasari, betapa pun ada beda pandangan dan prioritas pembenahan korupsi di masa lampau.

Catatan untuk KPK: Prioritas Pembenahan Korupsi Struktural

Badan dunia PBB mengakui bahwa aksi koruptif memiliki lebih banyak aspek kompleks, lebih dari sekedar seseorang mengambil apa. Karena, terkadang seseorang mengambil sesuatu tidak karena kehendaknya, tetapi dalam banyak kesempatan, sejarah dan struktur birokrasi dan kebiasaan dalam pelbagai aspeknya, memberi lampu hijau seseorang untuk memandang korupsi tidak sebagai suatu tindakan berdampak masif, tetapi sekedar sudah terjerat struktur dan relasi simbiosis mutualis para stock holder dan stake holder yang mengitari seseorang sebagai wakil “kita” semua.

Presiden SBY lebih netral menegaskan, bahwa korupsi adalah kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary crime) karena dampaknya sangat buruk terhadap aset dan keuangan negara (Suara Pembaharuan, 1 Desember 2010). Meskipun tidak dikategorikan sebagai extraordinary crime (dalam dokumen PBB), sifat dan dampak tindakan koruptif disamakan dengan makna extraordinary crime.

Keprihatinan dunia internasional atas pelik dan kompleksnya kasus korupsi dan penanganannya di negara-negara berkembang, seperti diungkap Robert B. Seidman dalam pelbagai kesempatan (dalam Why Do People Obey the Law - The Case of Corruption in Developing Countries) misalnya, penegakkan hukum atas pidana korupsi tidak dipinggirkan. Literatur Indonesia bahkan dengan gegap gempita salah kaprah massal menyebut “Korupsi sebagai extraordinary crime” dalam ucapan, tetapi tawar reformasi struktur birokrasi yang memungkinkan peluang-peluang abuse of power pada pelbagai tingkatannya.

Secara sosiologis hukum, tindakan Gayus Tambunan tidak sekedar menjadi keadaan faktual bahwa Gayus adalah seorang penjahat kerah putih maha besar. Penilaian itu dapat berarti masyarakat menjadi bagian dari vonis yang dijatuhkan atas tindakan Gayus, atau orang-orang terdekat Gayus.

Memang, harus diakui, bahwa kita tidak hanya kurang siap untuk membangun sebuah KPK yang berintegritas tinggi, tetapi juga tidak atau belum siap dengan pribadi-pribadi dengan wawasan lebih luas tentang makna sosiologis, antropologis dan filosofis, singkatnya, suatu sikap holistik tentang “crimen” atau kejahatan dalam sense yang patut dihukum.

Tidak sedikit pemegang pedang hukum yang terjebak huruf-huruf legalistis, dan tidak dilengkapi pedang pemahaman menyeluruh tentang “kelalaian” (error concommitan) hingga “kesengajaan” (crimen), sehingga dapat terbalik, seseorang yang patut dianggap “lalai” (populernya, ‘keliru’) diperlakukan sebagai penjahat, sementara yang patut dikategorikan “penjahat” (terbukti, dengan sadar dan sengaja), diperlakukan sebagai seorang yang ‘keliru’. Filsafat Hukum masih ‘makhluk asing’ di sejumlah pendidik dan program pendidikan.

Jika tidak memahami dan memaknai dengan tepat, sejumlah ‘kelompok suci’ pun dapat melakukan vonis yang berlebihan terhadap “kekeliruan struktural”. Kesialan bagi seseorang, misalnya, (siapa tahu) Gayus yang mungkin berkepribadian baik, terlempar kedalam struktur koruptif dan karenanya Gayus hanya menjadi bagian lain, benang pemintal kesatuan struktural keliru koruptif.

Dengan memberi sebuah rasionalisasi atau reason (konteks luas) cara memandang korupsi, penegak hukum dan masyarakat mendapat pemahaman lebih baik untuk menekankan pembenahan struktur. Inilah kiranya yang tampak juga disampaikan dan dimaksudkan Prof. Ryas Rasjid, Anggota Wantimpres (dalam sebuah siaran TV swasta, 30 Desember 2011) tentang prioritas KPK hendaknya adalah membenahi peluang korupsi. “Sukses pemberantasan korupsi, bukan dari banyaknya orang yang ditangkap, tetapi dari upaya keras pembenahan struktur yang membuka peluang tindakan koruptif”.

Dalam struktur yang acut-kadut, sulit membedakan satu orang pelaku tindak pidana korupsi berdiri lepas dari rekan-rekannya, atasan maupun orang di bawahnya, bahkan departemen secara keseluruhan. Korupsi disebut “multi level marketing” atau “bekerja di gudang tepung” dan karenanya, semua yang masuk, berada bersama di dalamnya.

Karena itu, Ketua KPK yang baru Abraham Samad sebaiknya mendapat lebih banyak ahli untuk membangun struktur yang menghindari dan menihilkan tindakan koruptif, daripada sekedar mengejar sejumlah orang, yang berterik kencang: "Sejumlah yang lain berlari di belakang Anda", karena pintu korupsi struktural telah lama dibiarkan terbuka.

Presiden dapat lebih mudah menjadi panglima anti-korupsi dalam pendekatan holistik ini. Tidak perlu lagi ada pernyataan ada bagian yang tidak di bawah kendali Presiden. Semuanya di bawah kendali Presiden. Juga, termasuk memberikan masukan kepada penegak hukum tentang sesat hukum yang dialami Antasari. Dan, Indonesia di bawah Presiden SBY berharap sebuah perubahan menyeluruh. Rekomendasikan pembebasan Antasari, dan kita berbesar hati memulai Indonesia yang jujur, bersatu, siap ber-islah.

Selamat Tahun Baru 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline