Lihat ke Halaman Asli

Berthy B Rahawarin

TERVERIFIKASI

Introduksi Diskursus Hukum dengan Prof. Yusril

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_147401" align="alignleft" width="197" caption="Sokrates sedang Bermenung"][/caption]

Mantan Menkeh-HAM dan Mensesneg Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM) ternyata rela memberi tanggapan atas tulisan kami “Argumentum Ad Hominem untuk Yusril” (HOKI Kabar Indonesia, tgl. 6/11) dan “Argumen Hukum Yusril, Sekedar DPR Senang?” (Kompasiana, tgl. 6/11) dengan substansi kurang lebih sama. Tanggapan itu disampaikan Prof. Yusril dari blog pribadi  (untuk Kabar Indonesia, tgl 1 Desember) dan ruang tanggapan publik (Kompasiana, 1 Desember). Sebelum memberi apresiasi kepada Bung YIM, saya mengantar diskursus ini dalam semangat diskursus, dialog, ataupun kebajikan Arab dari Prof. Nasr.

Kalau boleh singkat mengandaikan konsep diskursus (yang dimaksudkan Jurgen Habermas) bentuk komunikasi di mana klaim sepenggal dunia-kehidupan kehilangan cirinya sebagai pengetahuan latar-belakang (Hintergrundwissen) berubah menjadi tema komunikasi sebagai pengetahuan latar-depan (Vordergrundwissen).

Jurgen Habermas menggunakan pola komunikasinya untuk secara sederhana mengatakan, bahwa sebagai kesediaan berdirkursus, juga termasuk antara Prof. Yusril dan saya, atau sejumlah peserta lain dalam diskusi “dunia maya yang nyata”, minimum dikenal admin Kompasiana atau Kabar Indonesia, dan berdiskusi dalam diskusi argumentatif. Lebih dari itu, saya menambahkan unsur diskursus yang berkecenderungan tekhnis-rasional, disempurnakan konsep dialog (konsep Prof. Martin Buber) sebagai komunikasi eksistensial yang hanya dimiliki manusia sebagai bentuk keistimewaan.

Sebagai langkah introduksi, saya kutip juga semangat Prof. Seyyed Hossein Nasr dari kebajikan Arab, “Ma la yudraku kullu, la yutraku kullu”, atau “What cannot  be accepted in wholly, cannot be denied in wholly”. Kebajikan dari Arab ini senantiasa dikutip Prof. William Montgomery Watt, seorang sarjana Skotlandia (1909-2006)  yang diterima cendikiawan Muslim karena fasih dan mendalami bahasa dan budaya Arab, ketika menjelaskan nilai-nilai dunia Arab dan Islam kepada Eropa.

Disadari bahwa diskursus ini memulai dari sebuah puncak-gunung es,  maka tulisan ringkas, umum dan normatif ini betapa pun diharap memberi konteks dan jawaban implisit terhadap sejumlah poin (pembaca/penanggap), kiranya ini awal sebuah harapan akan komunikasi, tidak sekedar argumentatif, tetapi mengandung makna eksistensial untuk kehidupan seperti dimaksudkan Prof. Nasr, Habermas, ataupun Buber dalam artinya yang relatif utuh.

Apresiasi dan Komentarnya

Di tempat pertama, saya memberi apresiasi tinggi pada kesediaan Prof. Yusril untuk “keluar menjumpai” saya dalam makna eksistensialnya. Apresiai pertama ini, berarti sederhana, bahwa dalam periode dan waktu tertentu, terutama ketika dialog dengan Bung YIM amat dibutuhkan dibutuhkan, sejumlah kami tampak bertepuk sebelah tangan dan tidak memiliki akses menjumpai Bung YIM.

Dalam konteks ini, Bung YIM pernah menjadi bagian dari kekuasaan, bahkan hingga rejim SBY, sejumlah hal perlu didiskusikan terbuka. Tetapi, kesempatan itu tampak mustahil. Setidaknya, sebagai mantan Mensesneg dan Menkeh-HAM di bawah Presiden berbeda (terimakasih untuk koreksi tekhnis periode jabatannya), kita ingin mengetahui langsung sejumlah kasus kontroversial terkait penerapan hukum dalam tindak pidana Korupsi, HAM atau gabungan keduanya.

Kedua, mengapresiasi pula koreksi atas kesalahan massal penyebutan Korupsi sebagai “extraordinary crime”, yang dilakukan dari pihak saya hingga penegak hukum negara, baik kepolisian hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Memang benar adanya, bahwa dokumen UNCAC (United Nations Convention against Corruption) maupun UNTOC (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime)tidak menyebutkan Korupsi sebagai “extraordinary crime”. Extraordinary crime sejauh ini hanya digunakan pada kejahatan melawan kemanusiaan, misalnya genocida. Distorsi penyebutan “korupsi sebagai extraordinary crime” hanya ada dalam literatur Indonesia.

Betapa pun demikian, keprihatinan dunia internasional atas pelik dan kompleksnya kasus korupsi dan penanganannya di negara-negara berkembang, seperti diungkap Robert B. Seidman dalam pelbagai kesempatan (dalam Why Do People Obey the Law - The Case of Corruption in Developing Countries) misalnya, penegakkan hukum atas pidana korupsi tidak dipinggirkan hanya karena tidak ada sebutan “extraordinary crime”. Upaya luarbiasa untuk pemberantasan korupsi adalah semangat normatif, absolut ada. Remisi adalah kasuistik, maka terbuka terhadap debat kasuistik, seperti disebut Bung YIM tentang sejumlah politisi terkait BLBI dan Miranda Goeltom. Atau, bahwa korupsi dapat dijadikan cara lain kriminalisasi pribadi pejabat amat mungkin, setengah atau seluruh kasusnya.

Antasari Azhar, Denny Indrayana dan Debat Publik

Konteks diskursus atau debat publik negeri ini terhadap korupsi dan pelanggaran HAM memang bagian luas dan dalam puncak-puncak lain gunung es. Salah satu dan terutama yang mendatangkan putus-asa masyarakat adalah pelemahan KPK yang telah diwaspadai tokoh lintas agama sejak adanya dugaan kriminalisasi terhadap Antasari Azhar dimulai. Sejumlah bentuk lain pelemahan KPK, oleh orang atau lembaga lain menjadi begitu sensitif, suka atau tidak suka, dihubungkan dengan tema pelemahan KPK. Karena itulah, amat mungkin secara normatif, bahkan terhadap tema kasuistik Remisi narapidana koruptor yang debatable, menjadi tampak seolah bagian penyerangan langsung.

Dalam catatan saya, sosok Wamen Denny Indrayana, yang sebelumnya Stafsus Presiden Bidang Hukum, dalam pendapat saya amat krusial. Sebelum menjadi Stafsus Presiden, saya mengapresiasi integritas ilmiahnya. Tetapi khusus dan terutama ketika mendapat jabatan sedemikian, justeru begitu indikasi pelemahan KPK disorot. Saya harap tampak tidak menjadi juru bicara ketika Menkumham dan Wamen, Amir Syamsudin dan Denny melontarkan isu moratorium atau pengetatatan remisi. Karena, secara normatif dan faktual, narapidana koruptor dalam masalah hukuman, jauh lebih ringan puluhan kali dengan seorang maling ayam. Itu konteks saya.

Tapi, jujur dan tulus secara pribadi ingin saya katakan, bahwa saya menilai Wamen Denny baik, dari bahasa dan tutur kata di ruang privat, ketika berbicara dengan isteri Gayus Tambunan lewat telpon dari Tanah Suci. Peristiwa penyadapan pembicaraan Denny dan isteri Gayus justeru menjadi titik saya percaya kepada Denny. Tidak lebih tidak kurang.

Keprihatinan penegakan hukum dalam pidana Korupsi dan HAM lengkap dalam diri Antasari Azhar dan kekuasaan di mana Wamen Denny Indrayana (sebelumnya Stafsus Presiden Bidang Hukum)  di mana peran atau ‘ketak-berdayaan’ Denny Indrayana terhadap kekuasaan berlangsung.

Amat mungkin benar secara politis pernyataan Prof. Yusril bahwa isu moratorium atau pengetatan Remisi sekedar perbaikan citra. Itu hak berpendapat. Sementara, pada hemat saya, untuk isu remisi, setidaknya dapat merupakan sebuah upaya membangun rasa keadilan masyarakat terhadap kesetiaan lebih nyata membangun percepatan masyarakat adil, makmur, demokratis dengan pembasmian tindakan dan upaya koruptif.

Dalam dugaan pengkriminalan mantan Ketua KPK Antasari, terdapat pembenaran penghancuran upaya penegakkan hukum atas praktek koruptif, maupun kejahatan melawan kemanusiaan sebagai bentuk “extraordinary crime”. Karena, Antasari dilanggar hak-hak dasariahnya dengan dugaan rekayasa hukum, bahkan dengan kematian Nazarudin Zulkarnaen sebagai tumbal. Dalam kasus Antasari, pembelaan atau mengkritisi kasusnya, adalah bentuk pertaruhan kredibilitas hingga resiko-resiko lebih besar. Tetapi sejumlah orang, termasuk saya, telah menyadari segala resiko itu ketika berdiri mengahadapinya. Seperti seorang Soekarno kecil menghadapi penjajahan tengik penjajah Belanda.

Penutup (Sementara)

Saat upaya keadilan hukum diperjuangkan bagi Tibo Cs, saya dapat dipandang berada dalam seputaran kekuasaan, karena Ketua Umum Partai PIB DR. Sjahrir menjadi Anggota Wantimpres Presiden SBY periode pertama, sementara saya mejadi salah satu Ketua Ex-Officio Partai hingga tanggal 22 September 2006. Bung YIM masih menjabat Mensesneg.

Bukan karena inkonsistensi, apalagi faktor lain seperti dikomentarkan sejumlah komentator di blog Bung YIM dalam Blog. Kalau saya membela Antasari, Tibo Cs, Prita Mulyasari, hingga pernyataan keprihatinan atas perlakuan masyarakat internasional terhadap Moamer Khadaffi atau Gadafi saat menjelang terbunuhnya, semuanya itu untuk satu alasan: penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam prinsip itu, ungkapan Romawi yang jadi prinsip saya berbunyi, “Quo res cumque cadunt, semper linea recta stat”, apa pun yang terjadi, senantiasa berdiri di garis lurus. Primordialisme suku, keyakinan ataupun ras haram di halaman rumah konstitusi pribadi saya.

Bahwa, sikap kritis itu hanya sejauh seseorang, termasuk Bung YIM sedang dalam posisi sebagai pejabat Publik atau membahas kepentingan publik. Terjemahan keliru “Argumentum ad Hominem” dalam teks atau traktat Logika sumber Indonesia dapat menimbulkan salah paham. Sebagai salah satu “potensi” kesesatan, “Argumentum ad Hominem” hanya digunakan sebagai bentuk kritik terakhir, yang biasanya digunakan misalnya, Si A mengatakan, “Tidak ada satu manusia pun yang berkata benar”. Argumentum ad Hominem di sini hanya sebatas, bahwa perkataan Si A patut dianggap tidak benar pula. Tetapi, dalam pengertian lebih luas, argumen dengan menyerang pribadi, adalah sesuatu yang salah, dan saya tidak dalam posisi itu. Saya dengan rendah hati meminta maaf, kalau ada kesan atau kalimat yang memberi kesan itu.

Kalau dosen senior  Filsafat Hukum di Universitas Sam Ratulangi dan STF-Seminari Pineleng,  Manado, Prof. Jan van Paassen polos mengatakan bahwa “SBY dengan tulus melakukan kekeliruan (eksekusi terhadap Tibo Cs)”, saya berbeda pendapat, dan menyatakan sebaliknya. Yah, seperti Bung YIM dapat berbeda pendapat dengan Prof. Harun Al-Rasyid.

Dalam pandangan saya, Antasari Ashar dan Tibo Cs adalah sama direkayasa, dan hanyalah sedikit orang sebagai korban dari wajah kelam penegakkan hukum kita. Begitu banyak orang lain yang menjadi korban penegakkan hukum hasil rekayasa. Karena itu, atas nama kemanusiaan dan kemuliaan martabat manusia, dengan senang hati saya merasa terhormat kalau berdiskursus dengan Bung YIM, dalam argumen untuk mencerahkan masyarakat.

Akhirnya, saya juga mengambil tanggung-jawab redaksional media, sejauh itu semuanya berasal dari saya. Terkadang ada pengeditan di Kabar Indonesia. Kompasiana menerima utuh hingga titik koma. Namun, saya mengapresiasi kerja-sama saya dengan kedua media-maya, jurnalisme warga itu.  Independensi, integritas dan kemandirian berpikir telah menjadikan saya seorang out-cast atau out-sider di semua bentuk kemapanan ideologi, duniawi maupun spiritual. Saya diutus nurani kemanusiaan, dan mengambil tanggung-jawab pribadi atas semua keputusan, juga tulisan saya.

Saya berupaya percaya, bahwa upaya judicial review atas remisi per kasus terhadap isu korupsi, sebatas hak narapidana atas kemanusiaan universal. Ketulusan menghalalkan kita dari kekeliruan rasional.Teriring salam hormat, Prof. YIM.

ilustrasi dari google. (Dimuat bersama di HOKI Kabar Indonesia)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline