Lihat ke Halaman Asli

Berthy B Rahawarin

TERVERIFIKASI

Woooiii.... Mengapa Orang Miskin Dilarang Sirik?

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_143643" align="alignleft" width="273" caption="Ilustrasi: unduh Google"][/caption]

Diskusi Kaya - Miskin sudah jamak. Saya tidak ikut membedakan orang dari apa yang dimiliki secara ekonomis. Tetapi, bagaimana ia mendapatkannya, memperlakukaannya, danshow of all life styles yang patut.

Tidak sedikit orang kaya yang hidup dari keringat dan beramal-bakti penuh kesadaran sosial. Begitu juga, tidak sedikit orang miskin yang hidup dengan solidaritas yang tidak maksimal, karena mungkin perjuangan hidup yang berat.

Miskin dan kaya adalah pembicaraan  bukan sekedar sirik-sirikan. Kalau orang miskin dibilang sirik, dapat dianggap wajar. Tetapi, siapa bilang semua orang miskin suka sirik? Dan siapa menjamin orang kaya pasti tidak sirik?

Kesirikan pasti mutlak bukan punya si Miskin. Sebagian orang kaya, bahkan monopoli kesirikan itu. Berada bersama orang kaya, tepatnya orang yang selalu merasa diri ‘kekurangan’. Segera dipahami bahwa keseharian disibukkan dengan upaya tak habis, mencari dan mencari, dengan cara halal maupun haram.Ketika ia mendapatkannya, bau nafas yang keluar dari mulutnya segera ketahuan: orang miskin dilarang sirik. Ia memproyeksikan dirinya dalam "keserakahan" seolah milik si Miskin.

Debat kaya dan miskin berlangsung di ruang dan waktu yang berbeda, oleh banyak orang. Dan hanya ada dua hal yang membedakan mereka: kebaikan (good) dan kejahatan (evil). Tidak ada jaminan bahwa orang miskin itu dengan sendirinya baik memang. Tidak sedikit orang miskin yang terpaksa menjadi penjahat atau disebut penjahat.

Kejahatan membawa sebagian orang miskin dan kaya ke sebuah wilayah di mana mereka bertarung sebagai lawan: musuh abadi. Inilah kejahatan terstruktur yang mudah dipahami. Sejumlah orang kaya, tepatnya orang yang meraup harta (dan kekuasaan) tanpa batas, membiarkan sekelompok orang memandang dirinya dengan ‘hormat palsu’. Ia juga menjaga hubungan permusuhan atasan-bawahan, dalam persahabatan semu. Dengan sebuah ‘dinasti’ dan harta tanpa makna sosial. Kemanusiaan dan persahabatan pun dapat dibeli, anggapannya.

Sikap sadis dalam berkata, melukai perasaan untuk memperoleh kebahagiaan, adalah tipikal manusia sedemikian. Dia dapat berkata, “Tak apa hidup mewah, daripada pura-pura hidup miskin.”

Kalau rakyat Indonesia yang 240 juta, dan menggunakan standar PBB, U$2/hari saja pun, Indonesia sebenarnya memiliki nyaris 50% persen atau 120 juta jiwa yang hidup dalam garis kemiskinan. Kalau perkataan dua wakil rakyat, Sutan Batoegana dari Demokrat, yang berujar, “Lebih baik hidup mewah daripada pura-pura miskin, mungkin rakyat kita sudah terbiasa dihinakan dalam keseharian.”

Bambang Soesatyo dari Fraksi Golkar dalam konteks yang tidak luas, pernyataannya pun mudah diberi judul, “Orang miskin jangan sirik”. Tidak ada salah kutip, selain penekanan bahwa itulah sesungguhnya ungkapan terdalamnya.

Sulit memahami kalau tidak ada teguran oleh Dewan Etik DPR RI atas pernyataan kedua orang itu. Atau seluruh isi rumah Senayan itu membenarkan bahwa, memang sebegitulah moral wakil rakyat, yang jauh dari pantas untuk disebut terhormat itu.

Warga negara Indonesia, seorang pemuda asal Lampung Uda Didin H yang tinggal di Eropa, berkomentar singkat atas sikap Dewan itu: "Kalau di Eropa yang rasional sekalipun, kedua orang itu telah dipelintir lehernya".

Filsuf Karl Marx, G.F.Hegel, Friederich Engel terlanjur membahas panjang lebar hubungan kaya miskin yang berakhir tragis di tangan "Atheisme". Tetapi, kehormatan intelektual mereka tetap digunakan, dalam nama Tuhan.

Negara dan bangsa yang berideologi dan bangga menyebut diri ber-Tuhan, tanpa ampun bersolidaritas untuk menjaga kemarahan warga yang dihinanya setiap hari.

Dalam humanisme modern, kesadaran menjadi miskin dan menjadi kaya karena keringat adalah kenisbian. Boleh hidup dalam inequality karena kepemilikan, tapi tidak patut dalam injustice, absennya nilai sosial dari barang.

Orang miskin dapat saja sirik tidak karena kekayaan, tapi bahkan kata-kata tidak terhomat pun mutlak dimiliki warga yang disebut terhormat itu. Semuanya telah dimiliki wakil rakyat itu: hegemoni kata dan perilaku hidup, penghinaan kepada rakyat yang dibiarkan. Wajar donk, si Miskin "sirik". Masakan, sirik pun dimonopoli anggota Dewan. Hahaha....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline