Lihat ke Halaman Asli

Berthy B Rahawarin

TERVERIFIKASI

Nota untuk Ketua MK: Agama dan Peluang Kooptasi Negara

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yang terhormat Ketua MK Bapak Mahfud MD,

Bersama ini kami hendak  menyederhanakan dan mensarikan beberapa poin debat tiada henti nan abadi, hubungan negara agama, terutama dalam kasus terakhir perihal penolakan MK atas uji-materi UU Nomor I/PNPS/196.

Pertama, mungkin benar genit adanya bila menganggap mereka yang meminta uji materi UU Nomor I/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama disebut kelompok HAM, sebagaimana pernyataan Ketua MK ke media malam tadi (22/4/2010).  Tetapi tidak genitlah untuk,  sebagai Pejuang HAM,  tetapi mungkin sangat penting untuk terus membahas dan mempertanyakan  hal uji materi Produk UU tersebut yang terindikasi bertentangan dengan Konstitusi.

Kedua, dari kelompok yang mengajukan gugatan itu, yang dengan figur-figur dengan integritas diri yang hebat, terutama KH Abdurahman Wahid, sebenarnya amat diharapkan bahwa MK dapat melakukan pertimbangan serius dengan membuka ruang diskusi yang luas atau hearing ahli lebih banyak, sehingga Ketua MK dan para Hakim MK mendapatkan Substansi Konstitusional uji materi produk UU itu, yang oleh tidak sedikit ahli, dipandang bertentangan dengan Konstitusi.

Ketiga, memang Negara Pancasila bukan Negara Agama tetapi bukan pula Negara Sekuler, tetapi karenanya garis batas demarkasi Agama-Negara justeru seharusnya dibuat tinggal amat-sangat terang, lebih dari yang ditunjukkan negara sekuler, karena setiap garis batas yang kabur , maka Negara amat mudah melakukan penyimpangan karena inkonsistensi terhadap kebebasan Agama itu sendiri.

Keempat,  Negara dalam peradilan umum, dalam hal ini diwakili para penegak hukum, sangat mudah memasuki wilayah yang sama sekali BUKAN KOMPETENSI-nya menentukan dalam hal ajaran, misalnya,  SESAT-TIDAKNYA suatu ajaran, atau kelompok-kelompok yang dikategorikan SESAT dari yang TIDAK SESAT. Karena hanya "Ahli Tafsir Agama tertentu" atau Otoritas mengajar dogma agamalah yang menentukan sesat-tidaknya sesuatu ajaran.

Kelima, dalam hal kebebasan beragama dalam negara Pancasila meski samar membatasi jumlah agama di dalam negara Agama, Konstitusi jelas bukan hanya mengakui sejumlah keyakinan ada dalam negara Pancasila, tetapi bahwa dalam Negara Pancasila orang bebas menentukan keyakinannya, bahkan bebas untuk memutuskan untuk tidak memeluk sesuatu keyakinan. Sejarah dan praktek keliru kerap terjadi bahwa seolah "Pancasila melarang orang untuk tidak beragama"! Secara teoritis kemungkinan terakhir ini adalah bagian hak individu yang dijamin konstitusi. Konsekuensinya, mestinya, ada kelompok orang yang bebas memilih untuk tidak memilih salah-satu agama seperti disebut dalam Konstitusi.

Keenam, dalam historisitasnya istilah Hak Azasi Manusia (HAM) atau Human Rights adalah konsekuensi belaka atau proses wajar dari terjadinya pemisahan Agama dan Negara yang memiliki domain masing-masing. Pemisahan itu untuk menjaga kewenangan dan keluhuran agama dari kemungkinan "tangan najis" Negara mengatur ruang privat keagamaan. Karena sensitifitas tertentu, orang diarahkan untuk tidak membicarakan pemisahan Agama-Negara, tetapi gerakan Hak Azasi manusia. Karena, sangat relevan dan adanya fakta historis bahwa upaya memisahkan kewenangan Negara dan intervensi Negara ke agama,  disebut sebagai perjuangan Hak Azasi atau Hak Koderati, hal yang melekat pada perjuangan tegaknya ekonomi dua institusi klasik itu. Dalam konteks dan pengertian sedemikianlan Gus Dur dipandang pembela HAM sejati.

Ketujuh, keadaan-keadaan pengecualian adanya sekte-sekte yang dapat lahir dari agama-agama besar yang ada, sudahlah merupakan konsekuensi proses yang bersamaan ada sejak sejarah manusia mengenal agama-kepercayaan tradisional hingga agama Kitab. Karena itu, munculnya kelompok-kelompok keyakinan baru dari agama besar harusnya mendapat perlindungan hukum dan dibuatkan aturan-aturan sosial yang menjamin haknya untuk "berserikat, berkumpul dan mengekspresikan imannya". Negara, lewat pengadilan tidak dapat memutuskan sesuatu apa pun, dan mengklaim satu titik saja dalam tafsir dan interpretasi iman sebagai bagian yang meminta campur-tangan negara.
Kedelapan, kalaupun ada eksaminasi terhadap putusan MK dapat terjadi oleh sejumlah orang atau kelompok, akan sia-sia belaka bila keprihatianan Gus Dur dan kelompok pejuang HAM (baca: kelompok yang menghargai otonomi Negara dan otonomi Agama) tidak bertolak dari titik dan sudut pandang yang sama atas substansi hubungan Agama dan Negara.

Kesembilan, akhirnya tetaplah disadari, bahwa hal menghargai otomi Negara dan otonomi Agama adalah proses dan dinamika dalam Negara Pancasila yang masih terus mencari identitasnya. Karena itu, kelompok pembela HAM (dalam pengertian konteks historis) di Indonesia akan terus berdiri dan mengingatkan otomi Agama terhadap kewenangan Negara. Nota ini pun untuk mengingatkan kita bersama pada pematangan pemahaman dan sikap serta kesediaan menerima bahwa Negara memang sangat mudah diberi peluang oleh Agama untuk dikooptasi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline