Lihat ke Halaman Asli

Berthy B Rahawarin

TERVERIFIKASI

Catatan Relawan untuk Presiden: Naikkan BBM Pilihan Terakhir

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14152848931057085241

[caption id="attachment_372707" align="aligncenter" width="418" caption="Sumber gambar: http://lh5.ggpht.com"][/caption]

Saya, seperti banyak pendukung dan relawan Presiden Jokowi lainnya, masih dalam keadaan trust tertinggi, nyaris tanpa syarat. Sehingga, dengung kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nyaris lewat tanpa sikap kritis. Untunglah, atau malangnya, bahwa mbak Rieke (Rieke Diah Pitaloka) mendadak mengingatkan kembali catatan saya pada hal fundamental tentang kenaikan harga BBM, misalnya dalam tulisan Tolak Harga BBM Atas Dasar Konstitusi.

Sebagai kader PDI-Perjuangan, Mbak Rieke tampak konsisten dengan penjelasan fundamental dan rasional seputar problem BBM kita. Inilah beberapa catatan mendasar yang saya ulangi, bilamana Bapak Presiden Jokowi sedang dalam keadaan bimbang, entah menaikkan BBM, atau menganggap penolakan kenaikan harga BBM sebagai sebuah kebijakan "Asal Rakyat Senang" atau kebijakan populis.

Dua alasan sederhananya, pertama, adalah konstitusi mengamanatkan, dan kedua, adalah tidak ada dasar rasional menaikkan harga BBM tanpa perbaikan pelbagai sektor seputar ESDM. Apalagi, harga minyak dunia pada hari-hari ini, justeru menunjukkan trend turun harga (U$ 80-an/barel), sementara kita sebaliknya mau menaikkan harga.

Konstitusi dan BBM

UUD 1945 menyatakan, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan" (Pasal 33 Ayat 1); "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" (Pasal 33 Ayat 2); "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3); dan "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional" (Pasal 33 Ayat 4).

Mengapa kenaikan harga BBM mutlak ditolak? Menjelaskan secara lebih populis tentang ditolaknya argumen Pemerintah terhadap kenaikan BBM di satu pihak, sementara pengalaman masyarakat yang didukung penjelasan mendasar di pihak lain, disederhanakan sebagai berikut.

Pemerintah dan mereka yang menolak kenaikan harga BBM, diwakili antara lain oleh ekonom senior Kwik Kian Gie sepakat, bahwa naik seberapapun harga minyak dunia, Indonesia tetap mendapat sisa "surplus" keuntungan pendapatan dari cadangan BBM-nya.

Mengapa kemudian Pemerintah ngotot menaikkan harga BBM? Pemerintah berargumen, bahwa belanja negara akan "jebol" sebagai akibat ‘berkurangnya' surplus itu. Itu bahasa yang bukan baru muncul tahun 2014, tapi hampir setiap tahun. Dengan mengurangi subsidi terhadap BBM, maka surplus BBM relatif akan tetap terjaga. Alasan Pemerintah, subsidi atas BBM itu kebanyakannya dinikmati ‘kelas menengah'. 

Diterimakah penjelasan demikian? Penjelasan itu sulit diterima. Bahkan meskipun sekarang Indonesia yang pernah menjadi pengekspor BBM dan sekarang menjadi murni importir, tetap saja 50% kebutuhan BBM dalam negeri adalah milik Indonesia. Untuk sisa kebutuhan itu, Indonesia mengimport.

Mari ikuti penjelasan Kwik Kian Gie, kader PDI-Perjuangan. Tahun 2012, Kwik berargumentasi, hitung-hitungan Pemerintah dengan hitungan Kwik cs sama, karena dari sumber-sumber yang sama dengan Pemerintah. Tetapi, mengapa jadi berbeda soal BBM boleh dan tidak mutlak dinaikkan?

1. Tidak pernah ada subsidi BBM itu. Pemerintah dan Pertamina hanya melakukan transaksi yang juga jelas dapat diaudit. Tetapi, keuntungan Pemerintah dan Pertamina tidak pernah teraudit secara transparan dan akuntabel.

2. Tidak ada cukup alasan bagi Pemerintah RI untuk terus mempertahankan  harga minyak dunia berdasarkan standar NYMEX. Sejak tahun 1960-an hingga 2007, standarisasi dan landasan hukum transaksi atas hitungan NYMEX telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, jadi tidak lagi ada dasar hukum menghitung BBM tanah air berdasarkan fluktuasi harga pasar global. 

3.  Produksi BBM Indonesia yang pernah mencapai 1,6 juta barrel/hari di jaman Soeharto, di masa Indonesia modern dan kecanggihan teknologi, Indonesia hanya mampu memproduksi 800 ribu barrel/hari. Ketidakmampuan tata kelola atau perjanjian kerja sama dengan perusahaan asing yang merugikan, mestinya segera ditinjau kembali. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline