Lihat ke Halaman Asli

Praktik Peradilan Sesat Terhadap Si Miskin dan Teraniaya Hukum

Diperbarui: 17 Oktober 2024   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelanggaran terhadap hukum acara pidana khususnya di instansi Kepolisian sudah tidak tabu terdengar ditelinga. Hal yang demikian masih saja marak terjadi baik penangkapan yang semena-mena maupun tidak memberikan hak-hak lainya bagi Tersangka sebagaimana yang telah diatur oleh KUHAP. Metode pemeriksaan yang masih menggunakan kekerasan masih dianggap efektif dan cenderung melanggar hak asasi Tersangka itu sendiri.

Kemudian, dalam KUHAP juga telah mengatur suatu ketentuan bilamana terjadi suatu tindak pidana yang ancaman hukumannya di atas 5 (lima) tahun, wajib di damping oleh Penasihat Hukum. Mengapa demikian?, karena pada umumnya ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun adalah termaktub dalam kategori tindak pidana biasa sehingga Tersengka tersebut wajib didampingi oleh Penasihat Hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 56 KUHAP.

Hal yang menjadi menarik perhatian adalah ketika ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut dianggap oleh segelintir oknum hanya sebagai formalitas belaka. Terlihat pada praktiknya didampingi oleh Penasihat Hukum yang hanya dicantumkan dalam Berkas Perkara (BAP) namun tidak pernah mendampingi Tersangka, baik di tingkat Kepolisian maupun pada tingkat proses persidangan di Pengadilan. Oknum-Oknum tersebut, terkesan hanya melewati proses yang diwajibkan oleh KUHAP agar Tersangka tidak dapat melakukan upaya hukum Pra-Peradilan. Sementara itu, KUHAP memberikan hak yang tercantum dalam Pasal 56 KUHAP tersebut secara filosofis untuk membantu mereka yang tidak mengerti hukum (awam hukum) agar terhindar dari unfair trail dalam setiap proses peradilan pidana yang dijalaninya.

Akibat dari keserampangan Oknum Kepolisian tersebut sehingga berani memeriksa Tersangka tanpa didampingi Penasihat Hukumnya yang mana Tersangka adalah "awam hukum" yang berakibat harus menerima penganiayaan dan tekanan dalam pemeriksaan yang dipaksa untuk mengaku suatu tindakan yang tidak pernah Tersangka lakukan. Selanjutnya, secara prinsipil tindakan yang dilakukan oleh Oknum Kepolisian tersebut telah bertentangan dengan ketentuan International Covenant On Civil And Political Right, sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan  International Covenant On Civil And Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) selanjutnya disebut "ICCPR", Pasal 14 ayat 3 huruf (g) yang bunyinya sebagai berikut:

"Dalam penentuan suatu tindak kejahatan, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal di bawah ini secara penuh, yaitu : (g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau dipaksa mengaku bersalah."

Lebih lanjut lagi, berdasarkan Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana ("Juklak dan Juknis Penyidikan"). Bab III angka 8.3.e.6 Juklak dan Juknis Penyidikan telah menegaskan:

"Pada waktu dilakukan pemeriksaan, dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun dalam pemeriksaan."

Hal ini juga berkaitan dengan salah satu hak yang dimiliki oleh tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. Pengaturan lain soal penyelenggaraan tugas Kepolisian ini juga antara lain, terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia ("Perkapolri 8/2009") yang menegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan. Sesuai dengan pengaturan Bab III angka 8.3.d jo. angka 8.3.a Juklak dan Juknis Penyidikan, hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mengenai BAP ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya "Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan" menjelaskan (hlm. 137) bahwa jika suatu BAP adalah hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksa, maka BAP yang diperoleh dengan cara seperti ini tidak sah.

Kehadiran KUHAP sebagai cara main/ rule of game juga untuk menjamin hal-hal yang prinsipil berkaitan demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan dan demi memastikan terpenuhinya kepastian hukum yang adil sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi:

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum."

Lebih lanjut pada Pasal 28I ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang kutipannya antara lain menegaskan:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline