Lihat ke Halaman Asli

Seandainya NU–Muhammadiyah Bergandengan Tangan

Diperbarui: 13 Oktober 2016   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah Gus Mustofa Bisri, budayawan Nasional sekaligus Kiai berpengaruh, yang pernah menyampaikan bahwa baik buruknya kondisi Indonesia sepenuhnya tergantung bagaimana umat Islam yang mendominasinya. Demikianlah kira-kira kesimpulan pendapat beliau. Pernah mendapatkan anugerah sebagai Negara terkorup adalah kesimpulan sederhana betapa umat Islam di Indonesia belum mampu menerjemahkan misi Rahmatan lil ‘alamin dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Berbicara konstalasi umat Islam Indonesia, secara tidak langsung berarti sedang membicarakan eksistensi gerakan sistemik umat Islam Indonesia yang secara umum direpresentasikan dalam dua Ormas besar yaitu NU dan Muhammadiyah. Bukan berarti membatasi Islam pada dua Ormas ini, tidak. Tapi setidaknya, mayoritas Umat Islam Indonesia sudah terkubu-kubu dalam kubu NU – Muhammadiyah. Sebagai Ormas keagamaan Islam terbesar, sedangkan Islam adalah agama mayoritas Bangsa ini, berarti persoalan-persoalan pelik dan degradasi bangsa disegala sector secara langsung adalah tanggung jawab dua Ormas ini.

lalu, NU – Muhammadiyah, sudahkah bergandengan tangan menyikapi beragam bersoalan yang sejatinya hanya dapat terselesaikan bila digarap secara bersama-sama? Faktanya, belum. Bahkan dua Ormas bersaudara ini kerap tampil berseberangan. Saling menghujat satu sama lain. Terkoptasi oleh beberapa perbedaan sederhana, pun furui’yyah. dan mengenyampingkan banyak tujuan perjuangan yang jelas seragam; realisasi nilai Islam dalam multidimesi kehidupan berbangsa dan bernegara secara Kaffah. NU – Muhammadiyah, jangankan bergandengan, akur saja belum. 

Padahal, konon kedua lahir dari rahim intelektual yang sama hanya saja pada ruang dan waktu yang berbeda. KH. Hasyim Asy’ari - KH. Ahmad Dahlan adalah seperguruan sehingga perbedaan cara dakwah tidak lantas menafikan kesamaan kepentingan ideologis yang mesti diperjuangkan. Kalaupun ada yang beda, hanyalah persoalan furu’iyyah dan bidang gerakan saja. NU qunut, Muhammadiyah tidak. NU dengan gerakan kultural, Muhammadiyah Gerakan sosial. NU Islam Rahmatan Lil Alamin, Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan.

Persoalan kebangsaan seperti krisis kepemimpinan, krisis moral, krisis pengetahuan keagaman, krisis kepercayaan, maraknya system ekonomi liberal-kapital yang sangat merugikan, penegakan hukum yang masih dengan slogan lawas; tumpul ke atas tajam ke bawah, budaya jahiliyah barat yang digandrungi para generasi, masih tingginya angka kemiskinan, krisis keagamaan dan lain-lain hanya dapat teratasi oleh gerakan kepedulian dan tanggung jawab umat Islam Indonesia secara bersama-sama, sistematis, terorganisir, dan ideologis. 

Kalau saja NU – Muhammadiyah kompak berkolaborasi menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan, merumuskan arah perjuangan umat Islam, dan tidak perlu ribet apalagi rebut tentang tahlil, Qunut, tahayul, khurafat dan bid’ah. NU – Muhammadiyah harus duet menjalankan peran sebagai khalifah di muka bumi Indonesia. Sehingga kalau Indonesia telah memiliki peradaban dinamis, religius dan makmur, maka Umat Islam NU – Muhammadiyah yang paling layak berbangga.

*Kamis, 2:58 13/10/16 oleh Mufti Shohib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline