Lihat ke Halaman Asli

Toleransi: Karakter Manusia Modern (Tulisan yang Terlanjur Emosional)

Diperbarui: 24 Juli 2016   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Beberapa waktu lalu saya kembali menemukan sebuah berita yang aneh sekali di facebook: Ada sekelompok orang memprotes keberadaan warung BPK (Babi Panggang Karo) yang dianggapnya sebagai sumber konflik, dan mereka memaksa orang lain—termasuk pemerintah—untuk menghentikan perdagangannya sebagai bentuk penghargaan kepada mereka yang umat muslim. Saya selalu gagal menahan diri untuk tidak terkejut setiap kali ada pemberitaan model begini. Sama seperti kisah-kisah lama tentang pedagang makanan yang dilarang berjualan di bulan puasa pada siang hari, atau yang juga bersifat musiman seperti melarang umat muslim untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat kristen dan perayaan tahun baru. Bayangkan betapa rajinnya mereka melarang ini-itu kepada orang lain, baik itu yang seiman pun yang tidak, berdasarkan topik-topik yang tidak bermanfaat. Coba kalau tabiat rajinnya itu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, misalnya: membentuk komunitas nirlaba yang peduli pada permasalah sosial, alangkah indahnya Indonesia raya ini.

Mari kita membahas permasalahan BPK ini dengan objektif. Tidak perlu memunculkan sendiri prasangka-prasangka buruk bahwa di baliknya ada konspirasi yang bertujuan melemahkan Islam atau ada sebuah operasi maha rahasia dari CIA untuk mengirim semua umat muslim—yang percaya takhayul—ke Mars supaya mereka bisa melihat langsung bentuk bumi yang sebenarnya (Apa iya bentuknya datar?). Mari kita memulainya dengan pertanyaan yang sederhana saja: Apa urusannya Babi Panggang Karo dengan timbulnya konflik antaragama? Apakah pedagang BPK adalah semacam intelijen Amerika yang melakukan penyamaran dan menyusup ke Indonesia? Apakah pedagang BPK mengajarkan paham sesat yang mengharuskan orang salat sambil berendam di dasar sumur? Atau bukan pedagangnya yang membuat mereka curiga, tetapi babinya. Oh, babi macam apakah yang dijadikan bahan membuat BPK itu?

Demi Tuhan, saya tidak paham.

Menurut saya, masalah itu tidak akan ada, kecuali jika mereka memulai protes itu dengan berkoar-koar sekehendak jidatnya sehingga menyinggung perasaan orang lain, atau kemudian dengan tidak tahu malunya melancarkan sweeping ke warung-warung tersebut. Itu akan benar-benar menjadi masalah.

Masalahnya justru ada pada kelompok mereka sendiri. Masalah yang juga merupakan ancaman bagi kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Saya merasa bahwa di dalam diri mereka tertanam keinginan yang kuat betul untuk menciptakan lingkungan yang seratus persen islami sesuai dengan ajaran yang mereka yakini. Sesuai dengan petuah-petuah dari pendakwah karbitan yang menjual nama “Islam” dan “Allah” dan “Konspirasi Barat” demi menarik perhatian kalangan umat Islam yang panasan. Orang-orang yang mudah diprovokasi, yang tak pernah benar-benar mau mencari tahu kebenaran itu sendiri. Mereka sudah merasa cukup dengan sebuah foto editan dan informasi murahan yang disebar-sebarkan oleh Jonru dan Tere Liye—ups, kesebut juga. Dan kautahu, di sanalah masalahnya bermula. Mereka tidak akan bisa membentuk lingkungan yang demikian karena negara ini bukanlah negara agama, tetapi sekuler selayaknya Turki yang mereka puja-puja. Tidak ada suku yang lebih tinggi di mata negara ketimbang yang lain, sama halnya dengan tak ada agama yang dianggap lebih berkuasa daripada agama yang lain. Negara bersikap netral di sana.

Saya tidak pernah terima jika ada orang-orang yang mengaku beragama tetapi—malah—menimbulkan percik pertikaian terhadap orang-orang di sekitarnya. Agama itu rahmat, jadi seharusnya ia mendekatkan hubungan antarmanusia, bukan membentangkan jarak; seharusnya sikap yang mengasihi itu berlaku untuk semua orang, bukannya untuk yang seagama saja. Jujur saja, saya merasa malu dengan keberadaan orang-orang begitu, apalagi dengan kenyataan bahwa ia beragama Islam—sama seperti saya. Bayangkan bagaimana perasaan umat muslim seandainya saudara-saudara kita di Bali menolak warung nasi padang di sana, karena menjual daging sapi yang merupakan hewan suci bagi mereka? Begitulah perasaan orang lain ketika umat muslim melarang BPK atau melarang mengucapkan “Selamat Natal”. Natal adalah hari yang penting bagi umat Kristen, dan menjadikan ucapan “Selamat Natal” sebagai sesuatu yang diharamkan adalah sebuah penghinaan bagi mereka. Sekali lagi, coba kalau posisinya dibalik, bagaimana perasaan Anda jika umat agama lain mengharamkan lebaran? Hargailah orang lain selayaknya Anda mau dihargai, begitu saja.

BPK hanyalah jenis makanan biasa, seperti halnya nasi goreng atau bakso urat atau mi celor. Lalu di mana masalahnya? Apa karena babinya—yang haram dikonsumsi bagi orang Islam? Tetapi hal itu pun berpotensi menjadi rancu, kan makanan itu bukan dibuat untuk mereka dan tidak ada paksaan dari siapapun supaya mereka memakannya. Makanan itu dibuat oleh dan untuk mereka yang nonmuslim, atau paling tidak, yang keyakinannya tidak melarangnya mengkonsumsi babi. Kenapa mereka geersekali dan, yang paling menyedihkan, memohon penghargaan dari orang lain untuknya—yang muslim. Jika kita dilarang agama untuk memakan babi, ya jangan dimakan, begitu saja dan apa susahnya. Apa jangan-jangan mereka juga akan membeli jika suatu hari ada seseorang yang menjajakan tahi ke rumah mereka? Sungguh, di manakah akal?

Tentang meminta penghargaan, saya punya komentar sendiri, bahwa hal itu membuat saya merasa kasihan betul dengan mereka. Mereka menganggap kalangan muslim kurang dihargai di negara ini, sementara  Islam adalah agama mayoritas yang dianut masyarakat. Dari sebuah buku tentang pengembangan diri, saya tahu bahwa mereka yang merasa kurang dihargai adalah orang-orang yang tidak punya kendali atas dirinya sendiri. Dan kendali itu sangat erat kaitannya dengan kemampuan yang mereka miliki. Mereka kurang mampu untuk membuat diri mereka nyaman dan akhirnya beralih ke agama. Seolah satu-satunya yang tersisa dari harga diri mereka adalah agama saja, sehingga keberadaan isu-isu kecil bin tidak penting yang menyinggung agamanya saja sudah cukup membuat mereka naik darah. Mereka takut agamanya rusak karena mereka tidak punya apa-apa lagi selain itu, persis pecundang yang ditinggalkan satu-satunya kekasih yang mau dengannya. Sungguh, kasihan. Padahal mereka seharusnya percaya bahwa tidak ada satupun hal yang bisa merusak Islam. Saya yakin—dan semestinya mereka juga yakin—bahwa Islam adalah agama yang benar, dan karena itu ia akan dilindungi langsung oleh Tuhan. Mereka yang tahu bahwa Islam adalah agama yang baik dan damai, tahu bahwa permasalahan semacam itu terlalu kecil untuk diurusi oleh umat muslim.

Ini sering disebutkan, dan sepertinya memang cocok untuk dijadikan pegangan bagi setiap warga negara, kecuali kalau mereka tidak merasa sebagai WNI—dan alangkah bijaknya jika mereka segera pindah saja ke negara lain sehingga negara ini menjadi lebih damai, bahwa kita tinggal di negara hukum yang peraturan di dalamnya berlaku untuk semua warga negara tanpa kecuali. Bukan negara Islam sehingga mereka yang muslim bisa mengatur masyarakat sesuai ajarannya saja. Mereka yang merasa berhak untuk menyalahkan perbuatan orang lain hanya karena “mereka tidak suka” dengan perbuatan tersebut adalah orang-orang yang super kolot. Mungkin tubuh mereka memang berada di hadapan kita—di negara sekuler pada millennium kedua—tetapi isi kepala mereka tertinggal di zaman purbakala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline