Lihat ke Halaman Asli

Teruntuk Penggiat Fiksi: Mengarang Itu Logis, Lho!

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tanyakan pada beberapa orang. Apa yang membuat mereka ingin menulis fiksi. Tentu akan Anda dapatkan jawaban yang bermacam-macam. Salah satu jawaban yang pernah saya dengar adalah: Sebagai pelarian.

Pelarian. Berlari dari apa? Dari kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan keinginan. Misalnya, kita ingin sesuatu terjadi tetapi kenyataannya tidak mungkin terjadi. Atau ketika kita membenci suatu kondisi lalu ingin mengubahnya dalam sebuah karya fiksi. Atau—yang paling sering—mencintai seseorang namun tidak tersampaikan di dunia nyata. Seorang teman yang hobi menulis fiksi beralasan karena kebencian. Ya, dia membenci seseorang lalu ia ciptakan karakter orang itu dalam cerita kemudian ia jadikan orang itu menderita di sana, atau bahkan, dimatikannya orang itu (sadis).

Saya rasa sah-sah saja melakukan hal itu, selama tidak dengan nyata menyakiti atau merugikan orang lain. Karya-karya itu lahir dari pengalaman. Tapi, di sinilah masalahnya. Bukan berarti jika fiksi adalah ”anak” imajinasi Anda lalu membuat Anda semena-mena terhadapnya (lebay.com)

Saya berbicara tentang fiksi yang baik. Bukan tentang peng-ekspresian diri Anda (yang artinya, suka-suka Andalah)

Maka, menulis fiksi adalah menciptakan dunia dalam karya itu. Kata ”menciptakan” artinya adalah real, nyata, dan hal nyata selalu masuk akal.

***

Contoh.

Senja mulai menampakkan kegelapannya. Matahari telah lama menghilang.

-Senja adalah senja dengan warnanya yang jingga, jika ia bisa menampakkan kegelapan maka bukan senja. (”Hari” yang lebih mungkin menjadi gelap)

-Kalimat kedua: Matahari telah lama menghilang. Jika matahari telah lama menghilang, maka sudah jelas-jelas gelap. bukan baru ”menampakkan kegelapannya”

Dua tungkai kecokelatan melegam terbuai, berayun pada angin. Memuncrat titik sejuk di sela pori.

-Tungkai: kaki. bagaimana bisa warna ”kecokelatan” menjadi ”melegamterbuai”. Lebih bagus jika dikatakan ”melegam” saja. Tapi perubahan cokelat menjadi legam sungguh ekstrem. Lalu bagaimana tungkai itu mengayun pada angin? (terbang)

-Memuncrat titik sejuk. Jika artinya adalah keringat, maka kata ”memuncrat” tidak masuk akal. Hanya kebocoran selang/pipa dan pancuran yang pantas memuncrat.

”Tiada kerapuhan, sebab aku bisa menopang jejakmu, selalu!” Tungkai meyakinkan, mendekat, dan mendekap sang pemuda.

-Jika ini karangan surealis, dimana tungkainya bisa lepas dari tubuh dan hidup mandiri, kalimat ini tidak salah. Tapi, jika tidak demikian, maka kalimat ini rancu sekali. (dan karya ini bukanlah surealis)

”Dompet lo!” Tiga orang laki-laki merapat sangar ke tubuh Pram. ”Maap, apa maksud Anda?” balas Pram.

-Sekilas tak ada yang salah. Tapi jika mengetahui bahwa kejadian ini terjadi di sebuah pasar di Palembang, bagaimana jadinya? Rancu?

-Bagaimana mungkin preman pasar itu menggunakan bahasa betawi?

-Pram. Sungguh bukanlah nama orang Palembang.

-Apa maksudnya menggunakan ”Maap”, ia orang sunda? (padahal di cerita Pram adalah asli orang Palembang)

Senja merona kejinggaan. Cahayanya biaskan bayang-bayang emas, kemilauan di hamparan perairan.

-bias: belok, menyimpang.

-Jadi, logika kalimat itu menjadi: ”Cahaya senja” membelokkan ”bayang-bayang emas”. Jika bayang-bayang emas adalah sinar matahari, maka cahaya senja itu—seharusnya—adalah air atau kaca yang mampu meneruskan sembari membelokkan cahaya. Tapi, jelas cahaya senja = matahari.

Matahari mengapung naik. Sesekali meredup terhalang mendung yang masih menggumpal di rongga langit.

-Mengapung sudah berarti naik atau di atas; tidak perlu lagi ada kata ”naik”

-”Menggumpal di rongga langit”. Indah ya kelihatannya, tapi kalimat ini tak masuk akal. ”Rongga”: ruang dalam lubang, lubang. Sejak kapan langit berlubang? Jika maksudnya adalah sebuah celah yang biasanya terbentuk oleh awan yang berhimpit. Maka, bukanlah mendung yang menggumpal di rongga, tetapi mendung yang mencipta rongga itu.

Perempuan bermata hitam-redup

-hitam tidak sepadan dengan redup. Karena redup berarti keberadaan sinar yang tidak terang, maka lebih pas digunakan untuk lampu, dan mata tidaklah bersinar.

Dalam penggunaan diksi, ada sesuatu yang harus dicermati. Tidak semua kata bisa kita padankan, karena setiap kata memiliki pasangannya sendiri. Walau tidak berarti satu.

Misal, ”setangkai” sangt erat dengan ”bunga”; ”Sehelai” dengan ”rambut”, ”selembar” dengan ”kertas”. Begitu. Anda tidak disarankan menggunakan ”segepok air” atau ”serumpun kertas”.

Terakhir, berikut ini saya kutip langsung dari sebuah cerpen yang di muat di media nasional.

Ia tersenyum menang. Air mulai surut. Ia memicingkan mata ke sepanjang tepian bengawan. Tampak gundukan pasir basah yang masih bercampur endapan lumpur, berkilat-kilat oleh kedipan matahari. Arakkan mendung pun tampak memudar. Ia yakin sekali, langit sudah mulai lelah menangis. Air akan semakin surut. Ia tersenyum yakin. Sudah terbayang ancang-ancang cerlang dalam kepalanya.

Ia bergegas. Kembali ke rumah untuk ganti kaus, mengambil serok dan ciduk pasir. Ia akan segera memulai galian.

-”Kedipan matahari”?. Tanyakan kepada mahasiswa fisika!

-Arakkan, jika maksudnya membuat sesuatu menjadi arak (sejenis bir), benar. Tapi yang dimaksud di sini adalah ”iringan orang yang berarak”, maka kata yang baku adalah ”arakan” atau ”arak-arakan”.

-Ia, ia, ia... berapa kali ada kata ”ia”. Bukankah banyak cara penyampaian yang bisa digunakan, tidak harus dengan kalimat aktif terus.

Ia, Nya...

Penggunaan ia dan -nya; aku, -ku; kamu, -mu.

Sebenarnya bisa saja ia menyimpan sendiri uang hasil jerih payahnya untuk ditukarkannya dengan beras.

Namun ibuku malah memelototiku

Usai ke surau kamu akan cepat-cepat mengganti pakaianmu

-Dari ketiga contoh di atas, apakah akan menjadi masalah jika imbuhan yang menyatakan kepemilikian (-ku, -mu, -nya) jika tidak, ya, buang saja. Supaya kalimat anda lebih padat, dan tidak terkesan boros kata.

***

Saya selalu menilai sebuah cerita fiksi dengan ”kelogisannya”. Walaupun fiksi, bukan berarti tidak logis donk. Lihat Harry Potter, walaupun dengan latar belakang yang sangat imajinatif, tapi pernahkan ada yang meragukan ceritanya? Ah, kok bisa begitu ya? ’gak mungkin itu? Masak seperti itu, tak masuk akal?

Pernahkah? Saya rasa tidak, karena penulis cerita berhasil mencipatakan dunia ”Harry Potter” yang logis di sana. Semua hal diceritakan dengan asas sebab-akibat.

Maka, lihat kembali fiksi Anda setelah selesai membuatnya. Jangan-jangan banyak hal yang tidak logis di dalamnya.

Saya, selalu melihat sebuah karya dari keseluruhannya.

Sebuah cerita yang sangat bagus, dibangun dengan pendekatan yang menarik, akan segera saya simpulkan menjadi ”gagal” jika ada ketidakrelevanan isi di dalamnya, atau terlalu banyak kata-kata yang tidak logis.

Misal, pada awal diceritakan pria ini sangat gagah, dan tak pernah mengeluh. Maka, sebuah tindakan atau kata-kata ”keluhan” yang muncul sepanjang cerita adalah kecacatan. Kecuali ada sebab yang sangat kuat melatarbelakanginya (karena pria ini "sangat" gagah)

So, membuat fiksi butuh keseriusan, jangan hanya terlena dengan kepiawaian kita memutar balik kata; yang mungkin saja,  justru menjadi tidak berarti.

Thanks... Semoga bermanfaat, BB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline