Lihat ke Halaman Asli

Kejatuhan Jokowi Menghitung Hari?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang pileg adalah titik puncak tertinggi popularitas Jokowi, saat itu dia benar-benar laksana dewa turun dari langit ke sembilan untuk menolong manusia yang nestapa di dunia fana ini. Kata-kata bombastis penuh pujian meluncur dari segala penjuru mata angin kepada Jokowi, bahkan saat itu marak terdengar prediksi keajaiban tangan Jokowi akan membuat PDIP meraih 35% suara pada pileg dan selanjutnya pada pilpres Jokowi bisa dipasangkan dengan siapa saja termasuk sendal jepit dan pasti menang.
Inilah Jokowi Effect yang layak disandingkan dengan tangan Raja Midas, apapun yang disentuh Jokowi akan mengeluarkan wangi bunga mawar melahirkan bidadari yang menari-nari dengan riang gembira. Pokoknya dengan Jokowi PDIP akan bisa maju tanpa berkoalisi. Mantap kan?
Namun semua berubah setelah negara api menyerang dan menghancurkan semua prediksi sebab bukan saja suara PDIP pada pileg jauh di bawah 35% tapi PDIP tidak meraih threshold sehingga harus menjilat ludah sendiri dan mencari partai pendukung yang segera ditemukan yaitu NasDem yang konon koalisi tanpa syarat tapi sebenarnya menyodorkan JK sebagai cawapres.

Sudah jatuh tertimpa tangga, Jokowi malah diusir oleh Puan Maharani dalam rapat evaluasi pileg karena Jokowi berani menyalahkan Puan sebagai Ketua Pemenangan Pemilu PDIP atas jebloknya suara PDIP di pileg. Arogansi Jokowi yang merasa PDIP lebih membutuhkan dirinya ketimbang dirinya membutuhkan PDIP menyebabkan dia dan pendukungnya, PDIP ProJo menolak meminta maaf dan malah meminta kendali atas badan pemenangan pemilu dari tangan Puan Maharani.
Pada titik ini sesungguhnya Megawati, seluruh keluarga Soekarno dan pendukung setia mereka sudah marah besar pada Jokowi dan bila saja pilpres tinggal beberapa bulan lagi maka dapat dipastikan Jokowi akan dipecat dari PDIP. Namun karena tidak mungkin memecat sekarang maka ketidaksukaan tersebut dilakukan secara simbolis antara lain:
- tidak ada satupun petinggi PDIP yang menghadiri peresmian rumah pemenangan Jokowi di rumah Moeryati Soedibyo;
- tidak digubrisnya Jokowi oleh Megawati selama acara pengukuhan Hendropriyono dan bahkan Jokowi duduk di meja lain;
- peringatan Puan Maharani kepada Jokowi supaya jangan kualat kepada keluarga Soekarno;
- ditolaknya permohonan Jokowi untuk bertemu Guntur dan Rachmawati; dan
- pernyataan Guruh yang meraguhkan kemampuan Jokowi memimpin Indonesia dan meragukan penghayatannya akan ajaran Soekarno.
Menyadari Jokowi adalah sosok yang berbahaya bagi PDIP, maka Mega segera menarik kewenangan Badan Pemenangan Pemilu ke dalam kendalinya sehingga Jokowi dan ProJo tidak bisa berbuat apa-apa; dan setelah itu Megawati memberikan kewenangan pemenangan pemilu kepada Puan sebagai perwakilan dirinya. Dalam sekali langkah Megawati memberikan imunitas kepada Puan dari serangan yang mungkin dilakukan Jokowi dan ProJo di masa depan karena kali ini menyerang Puan sama saja menyerang Megawati, yang merupakan tindakan bunuh diri.
Berubahnya sikap Megawati terhadap Jokowi juga ditunjukan dengan pemilihan anggota Badan Pemenangan Pemilu yang baru yaitu dari PDIP simpatisan Mega dan NasDem serta menolak permohonan anggota PDIP ProJo untuk menjadi anggota, dengan demikian kendali atas kampanye PDIP termasuk "sumbangan kampanye" sudah ada di dalam pengendalian tangan Mega sepenuhnya.
Yang paling signifikan menyebabkan Megawati murka kepada Jokowi adalah ditemukannya dokumen notulen rapat antara PDIP ProJo dengan Dubes Amerika dan Israel di Singapura pada bulan Februari 2014 yang berisi rencana dan langkah yang akan diambil Jokowi untuk dicapreskan dan kemudian sebagai langkah terakhir mendongkel Mega dan keluarga Soekarno keluar dari PDIP. Saya dapat memberi konfirmasi dari orang PDIP sendiri bahwa rencana mendongkel Mega adalah benar karena ProJo melihat kekuatan trah Soekarno sudah habis dan memerlukan regenerasi.
Saat ini Mega memang sedang melakukan kalkulasi politik terkait Jokowi, seperti untung-rugi tetap menaruhnya sebagai capres PDIP dan bagaimana cara mengendalikan; atau bila tidak mungkin dikendalikan maka bagaimana cara membatalkan pencapresan Jokowi tanpa merusak peluang capres-cawapres baru dari PDIP untuk memenangkan pilpres. Kemungkinan kita baru tahu langkah yang akan diambil Megawati pada detik-detik terakhir sebab ingat pencapresan Jokowi baru sebatas dukungan dan belum resmi sehingga seperti Hanura membatalkan Wiranto-HT dan PKB membatalkan Rhoma Irama maka tetap ada kemungkinan pencapresan Jokowi dibatalkan bila kalkulasi Mega menyimpulkan kerugiannya bisa diminimalisir.
Tentu saja yang lebih memusingkan Jokowi lainnya adalah penolakan Mega atas usulannya mencalonkan Abraham Samad yang merupakan titipan Amerika sebagai cawapres. Alasannya karena Mega lebih condong Puan untuk menjadi cawapres Jokowi atau setidaknya Ryamizard Ryacudu. Namun dengan masuknya mitra koalisi maka penetapan cawapres sudah bukan sepenuhnya berada di tangan Megawati lagi.
Sekarang PDIP, Megawati dan Jokowi sedang sakit kepala dan migrain akut akibat kesalahan mereka menggunakan posisi cawapres sebagai alat "dagang sapi" demi menarik mitra koalisi karena sekarang NasDem menuntut supaya calon mereka yaitu JK menjadi cawapres; PKB mencalonkan Mahfud MD dan setidaknya minta dilibatkan dalam penentuan cawapres; sedangkan Golkar bisa saja mendukung JK namun akan mendapat resistensi dari ARB yang bersedia berkoalisi dengan PDIP bila cawapres jatuh ke tangannya. Sedangkan ProJo terus memaksa Abraham Samad, walaupun dapat dipastikan Mega tidak menggubris keinginan ProJo.
Bagaimana menyelesaikan dilema ini? tentu saja dengan mengorbankan pencapresan Jokowi sehingga pasangan capres-cawapres nantinya bisa lebih luas, bisa RR-ARB; RR-JK; ARB-Puan; JK-Puan; dan lain sebagainya. Bila opsi mengorbankan Jokowi yang dilakukan, yang mana bisa dilakukan Mega yang pendendam bila dampak kerugian bisa diredam maka hal tersebut dapat dipastikan akan menarik nama Jokowi sebagai politisi ke titik nadir dan titik terendah yang akan sangat sulit untuk bangkit kembali karena kali ini orang sudah tidak mudah untuk ditipu gaya lugu dan ndeso Jokowi.
Sekembalinya ke Jakarta sebagai gubernur, Jokowi juga akan menemukan bahwa Jakarta sudah tidak sehangat dulu karena terbukti dia mau meninggalkan Jakarta demi nyapres termasuk telah berdosa menghancurkan pembangunan dan ekonomi di Jakarta demi nyapres.
Kita lihat kemana angin akan bergerak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline