Lihat ke Halaman Asli

Lulusan Indonesia Tak Didesain untuk Pasar Global

Diperbarui: 19 Juni 2016   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari Shutterstock

Suatu ketika dalam sebuah obrolan ada pertanyaan menggelitik tentang mengapa lulusan universitas Indonesia sulit bersaing di kancah internasional. Ini pertanyaan sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Coba saja lihat ijazah dari universitas di Indonesia. Negara mana yang paham apa itu SE,ST, MM, MSos?

Sebagai produk, lulusan Indonesia tidak bisa dijual karena salah kemasan. Tidak bisa dipasarkan. Perlu dicatat bahwasanya secara kualitas penguasaan materi setidaknya lulusan dari universitas beneran di Indonesia, masih bisa disandingkan dengan lulusan dari negara Asia lainnya.

Masalah ini sama dengan masalah kurang dihargainya paspor Indonesia di kancah internasional karena pemerintah tidak memandangnya sebagai suatu hal yang krusial sehingga ditangani setengah hati tanpa visi-misi yang jelas. Ini menunjukkan bahwa pemerintah belum memiliki visi global. Hal ini tentu saja merupakan sebuah ironi karena era sekarang adalah era global. Sebuah kebijakan yang obsolete digunakan untuk mendidik generasi masa depan tentu adalah ironi!

Antisipasi serbuan tenaga kerja asing menyongsong berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sempat gaduh beberapa waktu lalu. Tapi sama sekali tidak menyentuh pokok permasalahan bahwa kemasan untuk menjual produk lulusan universitas di Indonesia yang sama sekali tidak menarik untuk pasar internasional. Terbukti sekali lagi kegaduhan itu pun hanya berupa niatan untuk sekadar memproteksi kesempatan kerja di dalam negeri tanpa ada niatan untuk bersaing di luar negeri, Singapore misalnya atau skala ASEAN yang merupakan keuntungan dari MEA. Ini adalah bukti bahwasanya pemerintah memang tidak berpikir maju dan tidak memiliki strategi global.

Sangat langkanya perekrut yang tahu tentang apa itu gelar SE,ST, MM, SSos, dan seterusnya, sekalipun ijazah dan transkrip bisa diterjemahkan, jelas meminimalkan peluang bersaing di luar negeri. Padahal, sarjana Indonesia bisa menjadi komoditas ekspor dan itu lebih bagus daripada ekspor TKI dan TKW non degree dan non skill.

Belum lagi pemerintah terus memungkiri kenyataan bahwa sudah saatnya setidaknya 50% materi pendidikan di universitas di Indonesia diharuskan menggunakan bahasa Inggris supaya lulusannya bisa dijual di pasar global. Bahasa ini penting karena banyak pengaruhnya pada soft skill, utamanya komunikasi di mana di dalamnya termasuk presentasi, interaksi pergaulan, dan penulisan laporan.

Familiarisasi penggunaan bahasa Inggris sedini mungkin adalah penting karena yang sering menjadi kendala dalam berbahasa asing bukanlah sekedar percakapan atau conversation, tapi istilah-istilah baku yang bersifat teknis atau istilah-istilah khusus. Hal ini bisa dicoba misalkan meminta lulusan akuntansi dari universitas di Indonesia membuat laporan keuangan beserta analisisnya dalam bahasa Inggris. Hampir bisa dipastikan akan banyak menghadapi kesulitan dan ditemukan kesalahan dalam pengerjaannya. Padahal, perusahaan global pasti laporan keuangannya menggunakan bahasa Inggris. Setidak-tidaknya coba tengok laporan keuangan perusahaan-perusahaan Indonesia yang sudah go-public, pasti dwi bahasa: Indonesia-Inggris. Bagaimana bisa bersaing bila begini?

Pernah ada pejabat Indonesia yang ditanya dalam bahasa Inggris ketika beliau berkunjung ke USA. Beliau menjawab dalam bahasa Inggris dengan cukup lancar untuk ukuran Indonesia, tapi sayangnya ketika ia menyebutkan salah satu agenda kunjungannya adalah mengunjungi kantor PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) ia mengalami lost in translation dengan membahasa Inggriskan PBB sehingga jadi Pi-Bi-Bi ketimbang menggunakan UN (United Nation). Atau salah satu konglomerat Indonesia yang menerjemahkan BBM (bahan bakar minyak) menjadi Bi-Bi-EM saat di-interview media Singapura.

Strategi pemerintah dalam merancang sistem pendidikan yang menentukan masa depan bangsa sangat perlu di overhaul karena sepertinya pemerintah masih menggunakan pemahaman abad 20 di era sekarang. Jurangnya terlalu lebar. Ada kesalahan didesain sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.

Sangat kasihan generasi muda saat ini yang di usia belia banyak yang paling tidak sudah berinteraksi secara internasional dan pergi lintas negara, setidaknya di kawasan ASEAN, sementara realitas kehidupan mereka bahkan masa depan mereka justru dirancang oleh pemerintah dengan sistem yang masih didominasi pandangan yang berorientasi terbatas pada lingkungan domestik dengan sistem yang sudah obsolete alias ketinggalan jaman.

Peran pemerintah dalam mempersiapkan generasi muda dalam menyongsong globalisasi sangat-sangat minim dan hampir tidak ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline