Lihat ke Halaman Asli

Berny Satria

Penulis bangsa

Presiden Jewer Gubernur di Atas Banjir

Diperbarui: 3 Januari 2020   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah jadi rahasia umum tentang adanya perang dingin antara Gubernur DKI sebagai kepala Provinsi dengan Presiden NKRI sebagai kepala negara-penanggung jawab penuh nasib 260 juta an warga negara ini, sebagai efek dari Pilpres dengan Pilgub yang berbeda perahunya. 

Perbedaan adalah sebuah kewajaran. Namun jika perbedaan itu menjadi perlawanan ide-ide yang tidak produktif bahkan destruktif bagi warga sebagai pemilihnya, itu akan membawa malapetaka.

Perbedaan kebijakan tentang penangkalan dan penanggulangan banjir antara Pemerintah Pusat dengan PemProv DKI, adalah jawaban dari ribuan warga DKI yang harus berenang kagetan karena meluapnya "Air Bah" tanggal 1 Januari 2020. Puluhan Mobil-motor terseret arus dan hancur laksana peristiwa Tsunami. Rumah terendam tinggal atapnya saja yang terlihat, hingga jatuhnya korban meninggal akibat banjir di Ibukota negara sebesar ini adalah peristiwa anomali bagi sebuah negara dengan sistem pemerintahan yang diklaim menjunjung tinggi Persatuan Indonesia.

Penangkalan banjir yang rutin terjadi sudah dianalisa penyebabnya dan sudah diambil langkah pencegahannya oleh Pemerintah Pusat dengan menormalisasi fungsi sungai sebagai media jalur air dari hulu ke hilir. Karena yang namanya air besar dengan curah hujan yang tinggi, pada saatnya turun ia akan meminta jatah lewat. Tidak peduli siapa Gubernur atau Presidennya, jika jatahnya itu dipersempit dengan tumbuhnya rumah-rumah penduduk di pinggiran sungai, pembuangan sampah, maka ia akan melabrak apapun yang menghalanginya. Ini jelas akan menyebabkan air meluap menyebabkan banjir dengan berbagai efek kerusakan dan kerugian materil dan imateril bagi penduduknya.

Program normalisasi telah diprogramkan dan dieksekusi terhadap sungai Ciliwung sepanjang 33 Km sebagai salah satu sungai terbesar yang melalui Jakarta, dengan melebarkan dari 20 meter sebelumnya menjadi 40 meter. Namun waktunya molor  disebabkan alotnya permasalahan pembebasan lahan dari warga yang rumahnya berada pada lahan pelebaran itu. Ada yang menolak, harga ganti ruginya dirasa belum pas, atau ada yang tidak mau direlokasi ke tempat baru dengan segala keluhan berbau alasan kemanusiaan dan kewajaran bahkan beraroma politis, hingga menuntut PemProv melalui jalur pengadilan.

Sebagai Pemerintah Pusat, tentu sudah memperhitungkan hal-hal tersebut dan membuat batas waktu pelaksanaan terhadap program yang dicanangkan secara komprehensif. Namun dengan adanya keluhan dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atas kerja Pemprov DKI tentang program nasional Normalisasi sungai Ciliwung yang baru terlaksana sepanjang 16 Km dari target 33 Km, menandakan bahwa ini disebabkan oleh PemProv DKI yang tidak mampu menyediakan sarana lahan bagi proyek normalisasi sungai yang dicanangkan Pemerintah Pusat. 

Belum lagi ada wacana dari Gubernur DKI yang ingin melaksanakan program Naturalisasi (penyerapan air ke dalam tanah), bukan memperkuat dan melebarkan kanal sungai sebagai program normalisasi sungai.  Juga slogan Gubernur nya yang berpihak kepada rakyat DKI hingga memotong anggaran penanganan program penanganan banjir dan justru memperbesar anggaran program pelebaran trotoar demi alasan estetika dan keberpihakan pada pedagang kaki lima serta pejalan kaki. 

Akibatnya seperti yang hari ini kita saksikan. Air mengepung DKI, kerugian materil dan imateril, korban, tol terendam, dan berbagai kendala yang disebabkan oleh banjir tahun baru ini, tidak akan terlupakan oleh warganya. 

Pertanyaannya, apakah ini salah Pemprov DKI sepenuhnya dengan Gubernurnya yang punya program menyenangkan hati rakyat guna pemilihan selanjutnya? Kita harus berfikir adil untuk menganalisanya. Pemerintah Pusat justru punya andil besar dalam kelalaian ini. 

Layaknya pemerintahan sebuah negara, Pemerintah Pusat sebagai hirarki tertinggi harus dapat memaksa hirarki di bawahnya untuk mentaati keputusan yang telah diambil, apapun agenda/misi yang dijalankan oleh hirarki di bawahnya. Jika tidak, maka program-program negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak sebagai warganya akan terkendala bahkan bisa mangkrak tak terurus. 

Pemerintah Pusat seolah tergadai oleh kebebasan rakyatnya dalam memilih kepala daerahnya secara independen dari kebijakan Pemerintah Pusat. Punya program, cita-cita, tapi harus menunggu hirarki di bawahnya sebagai pelaksananya untuk setuju dan mengeksekusinya. Cita-cita yang dicanangkan akan berakhir pada slogan dan lips service saja tanpa perwujudan yang sempurna. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline