Lihat ke Halaman Asli

Berny Satria

Penulis bangsa

Indonesia ATM Abu Sayyaf

Diperbarui: 12 Juli 2016   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="tni atm"][/caption]

Penyanderaan ABK kapal Malaysia di perairan Malaysia tak jauh dari Lahad Batu, Sabah adalah peristiwa penyanderaan ke 4 warga Indonesia oleh kelompok pemberontak Abu Sayyaf yang menyita perhatian publik Indonesia maupun Dunia, sebuah kejadian yang terbilang terlalu banyak dalam 5 bulan semenjak penyanderaan yang pertama pada tahun 2016.

Uniknya kelompok Abu Sayyaf (AS) memilah 7 ABK kapal Malaysia itu dan memilih 3 ABK Indoneisa untuk disandera. Mereka kemudian dibawa ke perairan Filipina menunggu pemerintah Indonesia untuk menebusnya. Sepertinya ada kilau memikat di "jidat" orang yang berpaspor Indonesia untuk dapat dikeruk uang negaranya bagi perjuangan AS, mirip seperti penjahat yang sedang kehabisan uang dan menemukan ATM tidak dijaga untuk dirampok, mereka akan bersegera menguras isi ATM yang ditemuinya itu.

Penyanderaan yang begitu cepat berulang kepada khusus WNI oleh kelompok AS menunjukan bahwa Indonesia adalah negara yang mudah dikeruk uangnya dengan cara menyandera warganya. Sebelumnya pemerintah mengklaim bahwa pembebasan sandera yang dilakukan oleh kelompok AS adalah dengan negosiasi komprehensif antara pemerintah Indonesia dan Filipina, dengan kelompok AS. Bahkan sang negosiator Indonesia, Kivlan Zen mendapat tabur pujian akan prestasi itu.

Secara logika hukum, sebuah kejahatan akan berulang tatkala pelaku tidak jera dan masih mendapatkan peluang untuk melakukannya. Dan sebaliknya, kejahatan tidak akan dilakukan kembali oleh pelaku tatkala ada ganjaran setimpal dan antisipasi terjadinya peluang kejahatan kasus tadi. Maka menjadi pertanyaan jika sebelumnya penyanderaan oleh kelompok AS dapat diselesaikan dengan jalur negosiasi namun terjadi lagi oleh pelaku yang sama, apa yang dirembukan oleh pemerintah dengan pelaku penyanderaan?

Jika telah dilakukan negosiasi, berarti ada sebuah kesepakatan yang dihasilkan. Sampai sekarang publik masih belum mengetahui apa yang dinegosiasikan dalam peristiwa penyanderaan-penyanderaan sebelumnya. Jika terjadi penyanderaan lagi, berarti ada kesepakatan yang dilanggar oleh salah satu pihak. Namun sayang pemerintah tidak terbuka dan cenderung menutupi substansi negosisasi yang dilakukan. Bisa jadi kesepakatan yang dilakukan, adalah dengan pemerintah Filipina untuk mengantar uang tebusan kepada penyandera. Karena sangat mustahil jika misi penyanderaan yang dilakukan oleh AS dalam mengumpulkan dana bagi perjuangannya dapat pupus hanya oleh sebuah negosiasi tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya, sementara kelompok AS masih bisa bergerak bebas di daerahnya.

Kelompok AS melakukan penyanderaan lagi karena usaha mereka sebelumnya untuk meminta uang tebusan yang dibutuhkan bagi perjuangan mereka berhasil dengan mulus, dan korban yakni pemerintah Indonesia dianggap sebagai mesin ATM penuh uang yang hanya digedor saja sudah keluar uangnya.

Jika kelompok AS menganggap pemerintah Indonesia sebagai ATM nya, mudah saja mengantisipasinya. Ibarat sebuah mesin ATM, ia rentan terjadi perampokan jika tidak ada penjagaan yang ketat. Layaknya sebuah mesin ATM di kampung berandal, ia harus dipasang CCTV, pengamanan sirkuit mesin, atau mungkin dengan menempatkan satpam di samping mesinnya.

Cara kedua adalah, ketika kita mengambil uang di mesin ATM, kita akan bersungut-sungut tatkala uang yang kita ingin cairkan ternyata tidak keluar dari ATM. Paling-paling kita hanya menggerutu, atau paling ekstrim kita akan mengeplak mesin tersebut namun tanpa merusaknya. Pemerintah jangan memberi peluang bagi penyandera untuk dapat mengancam Indonesia agar dapat memberikan uang tebusan. Begitupula bagi pihak ketiga, harus dapat dicegah untuk memberikannya secara mandiri. Karena pemberian uang tebusan bagi penyandera bermisi pemberontak, sesungguhnya kita sedang membesarkan dan membiayai perjuangan mereka untuk melakukan aksi kejahatan baik di negaranya, maupun di negara-negara lain termasuk Indonesia sendiri. Kelonggaran ini juga menyusahkan pemerintah Filipina yang harus menyiapkan kesiagaan ekstra untuk menangani pemberontak karena musuh mereka menjadi besar disebabkan pengucuran dana hasil pemerasan dari negara tersandera.

Negara kita dapat menempatkan kapal-kapal perang dan ditempatkan pada titik-titik tertentu untuk mengamankan kapal-kapal yang melintas agar tidak terjadi peristiwa yang tidak diinginkan dalam pelayarannya. Tentu ini membutuhkan kerjasama dan kordinasi antara negara-negara tetangga yang berkompeten terhadap lalu lintas pelayarannya. Walaupun ada di luar batas juridiksi Indonesia, kapal perang tadi bisa langsung menyerbu ke titik terjadinya sehingga kasus dapat tertangani dengan cepat dan tidak memberikan peluang bagi penyandera untuk melancarkan aksi dan memboyong sandera ke perairan kekuasaannya.

Dan cara yang ketiga adalah dengan tidak memberikan uang tebusan, baik oleh pemerintah maupun oleh pihak ketiga. Jika pemerintah berseru tidak akan memberikan uang tebusan pada peristiwa penyanderaan sebelumnya, namun belakangan tercium bahwa tebusan itu dilakukan oleh pihak pemilik kapal sebagai pihak ketiga yang lebih perduli terhadap ABK nya. Pemberian uang tebusan ini menjadi lampu hijau bagi penyandera untuk melakukan aksi-aksi penyanderaan selanjutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline