Seiring berkembangnya teknologi, perubahan pada media massa ikut terlihat. Transformasi media massa dari yang awalnya hanya media cetak harian kemudian dimunculkan radio dan televisi telah mengalami perkembangan pada tahap di mana teks, audio, video dan gambar berita dapat disajikan lewat internet; dalam website-website berita ataupun lewat media sosial dan di era dengan teknologi maju ini, sangatlah mungkin kegiatan jurnalistik berlangsung, sama seperti pada media massa konvensional maupun elektronik.
Kegiatan jurnalistik yang kemudian menghasilkan produk jurnalistik di internet ini sendiri dinamai Jurnalisme Online di mana dalam definisinya, jurnalisme online adalah jurnalisme yang mengintegrasikan tiga fitur komunikasi yang unik: kemampuan multimedia berdasarkan platform digital, kualitas interaktif, komunikasi online, dan fitur-fitur yang ditatanya (Palvik J dalam Aryani, 2011: 27).
Jurnalisme online ini sudah muncul sejak tahun 1998 di Indonesia di mana menurut Online Journalism. Principles and Practices of News for The Web (2005), kelebihan dari jurnalisme online ini adalah kebebasan audiens untuk mengontrol informasi yang ingin mereka akses (audience control), berita dapat diakses setiap saat karena tersedia di internet (Storage & Retrieval), isi berita dapat lebih lengkap (Unlimited Space), akses informasi yang tidak hanya teks namun dapat juga berupa gambar, video atau grafis (Multimedia Capability), mungkinnya audiens berinteraksi dengan berita (interactivity) serta aktualitas berita yang dapat dipertahankan (Immediacy).
Ditambah dengan masalah spasialisasi bagi audiens yang teratasi di mana audiens tidak terhalang ruang dan waktu untuk mengakses informasi, jurnalisme online juga menjadi jawaban bagi para pemilik media untuk melebarkan sayapnya dalam menjaring audiens yang lebih banyak dan beragam, terkadang pula menggunakan situs online mereka untuk menguntungkan diri sendiri; menaikkan elektabilitas diri atau pun kaum elit yang didukungnya.
Back-up politik oleh situs berita untuk mempertahankan posisi baik kaum elit inilah yang menjadi masalah karena hal ini berdekatan dengan propaganda. Propaganda sendiri adalah proses diseminasi informasi untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok masyarakat (Cangara, 2011 :271 dalam Zakkiyudin, 2018).
Dijelaskan oleh Marlin (1989: 47 dalam Walton, 1997) bahwa penggunaan kata propaganda memiliki konotasi negatif besar di mana para elit dan politisi akan selalu berusaha menghindari penggunaan kata ini dalam kampanye maupun kegiatan promosi politiknya. Propaganda sendiri dapat direlasikan dengan konten informasi yang misleading. Dijelaskan pula bahwa propaganda merupakan hasil olah informasi yang bukan fakta bersifat objektif dan hanya merupakan argumen yang bersifat bias sehingga menyebabkan beberapa sudut pandang positif saja yang terbangun (Walton: 1997).
Hal propaganda ini pun turut dibahas oleh Laswell dalam tulisannya dalam Teori Propaganda (Propaganda Theory) di mana ia mengatakan bahwa "Democracy has proclaimed the dictatorship, and the technique of dictating to the dictator is named propaganda." (Laswell, 2012: 631) di mana dapat dijelaskan bahwa dalam dunia demokratif, eksistensi diktator menjadi mungkin dan cara diktator mendikte (masyarakatnya) dinamakan propaganda. Diktator dalam konteks bahasan ini adalah pemilik media online dengan jurnalis sebagai kaki-tangannya dalam usaha mendikte pola pikir masyarakat agar memiliki pandangan positif pada kaum elit tertentu.
Propaganda di dunia jurnalisme online Indonesia sendiri sudah terjadi melihat bagaimana media online 'besar' yang aktif dalam kegiatan mendukung kaum elit tertentu terus berusaha menyuarakan posisinya. Jurnalis seakan menjadi sebuah 'pena' yang digerakkan oleh pemilik media untuk menorehkan informasi dengan tujuan kepentingan politik semata. Penggunaan kuasa untuk menuju tujuan kepentingan politik ini tidak terelakkan. Masyarakat pengguna internet pun menjadi sasaran aktivitas propaganda tersirat lewat kedok tulisan jurnalistik (berita).
Pernyataan di atas dapat dibuktikan dengan mengaca pada unggahan jurnalis metrotvnews.com pada 2016 silam dengan judul ' Kinerja Presiden Jokowi Terbaik di Asia' di mana isi tulisan mengutip dari hasil survei Bloomberg.com dengan artikel berjudul "Who's Had the Worst Year? How Asian Leaders Fared in 2016'. Dalam artikel Bloomberg, tidak dikatakan siapakah pemimpin terbaik se-Asia di mana konten unggahan Bloomberg hanya membahas bagaimana kinerja para pemimpin di Asia (seperti Cina, Filipina,dll) sudah relatif stabil.
Kesalahan (atau mungkin kesengajaan) penulisan artikel jurnalis metrotvnews.com ini pun menjadi perbincangan lewat unggahan blog masyarakat awam sampai pada merdeka.com yang bahkan mendapatklarifikasi langsung dari penulis artikel ini lewat twitter (David Tweed) di mana David membantah rumor tersebut. Selain itu, republika.co.id juga mengunggah artikel bantahan 'Bloomberg tak menyebut Jokowi Pemimpin Terbaik Asia-Australia 2016'; memiliki kinerja stabil bukan berarti ia adalah presiden yang terbaik.
Dalam konteks bahasan ini, muncul unsur propaganda politik Glittering Generalities (Nimmo, 1997 dalam Zakkiyudin, 2018), yaitu bahwa artikel berita ditulis untuk membuat baik nama kaum elit dalam berita tersebut meskipun sebenarnya tidak ada satu kata pun dalam unggahan Bloomberg yang mengatakan bahwa presiden ini adalah yang paling baik se Asia dan Australia. Bagi masyarakat pengguna internet yang mengakses informasi tanpa melakukan verifikasi ke sumber asli berita mungkin saja tertipu dengan isi berita yang tidak akurat ini.