Lihat ke Halaman Asli

Bernard Simamora

Wiraswasta, dosen, guru, pendiri dan pengelola beberapa sekolah menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi di Bandung, Pengamat sosial politik dan pendidikan.

Kisruh DPR, Kalah Menang untuk Siapa?

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sidang pemilihan dan penetapan pimpinan komisi DPR yang digelar kemarin Rabu, parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) memilih tidak hadir dan menggelar pemilihan tandingan. Meski begitu, hasil pemilihan yang hanya dilakukan fraksi-fraksi dalam Koalisi Merah Putih (KMP)yang dipimpin Pimpinan DPR, 9 dari 11 komisi menempatkan para politisi KMP sebagai pimpinan. Hanya dua komisi yaitu Komisi V dan Komisi XI yang belum menggelar proses pemilihan pimpinan.

Tidak hadir dalam pemilihan ala KMP, KIH mengangkat sendiri pimpinan DPR untuk sementara karena kecewa dengan pimpinan DPR yang ada saat ini. Pimpinan DPR ini akan diketuai oleh Pramono Anung (PDI-P) dan terdiri dari empat wakil ketua, yakni Abdul Kadir Karding, Saifullah Tamliha (PPP), Patrice Rio Capella (Nasdem), dan Dossy Iskandar (Hanura). Mereka beralasan, pimpinan DPR yang secara mutlak dijabat fraksi-fraksi di KMP sudah secara nyata mengabaikan hak paling pokok anggotanya, yakni hak untuk menyatakan pendapat.

Anggota fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo menuduh KIH tidak siap menghadapi kekalahan dan perubahan dalam dinamika politik pasca pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014. Menurutnya, hal itu bukan hanya mengganggu ritme kerja DPR, manuver membentuk pimpinan DPR tandingan memperlihatkan perilaku KIH sebagai kekuatan politik yang menolak kesetaraan eksekutif-legislatif serta tidak dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi. Mambang menuduh KIH ingin menguasai semua dari hulu hingga hilir. Padahal, untuk mengikis perilaku korup para oknum birokrat sekaligus mewujudkan good and clean governance, kesetaraan eksekutif-legislatif. Banang seolah-olah lupa, dualisme kepemimpinan di DPR antara KIH dan KMP merupakan buntut dari cacatnya legitimasi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Produk hukum yang cacat akan menimbulkan kontroversi berkepanjangan.

Hasil pemilu yang sebelum-sebelumnya, partai pemenang pemilu yang memimpin DPR sebagai ketua, dan wakilnya dari partai-partai lainnya. Bukankah ketika Partai Demokrat pemenang pemilu 2009, Marzuki Alie menjadi ketua DPR; dan ketika Golkar pemenang Pileg 2004, Agung Laksono jadi Ketua DPR? Tetapi, sehari sebelum Pilpres 2014, politisi piawai Golkar bersama KMP lainnya merevisi UU MD3, yang mengebiri kemenagan PDIP, sehingga kemenagan PDIP kini tanpa mahkota. KMP tidak layak menuduh PDIP ingin menguasai hulu ke hilir, atau berdalih kesetaraan eksekutif legislatif. Mengapa sebelum 2014 itu tidak dilakukan Golkar dan KMP terhadap Partai Demokrat tahun 2009 dan terhadap Golkar tahun 2004? Kemenangan dalam Pileg mahkota Pemenangnya ketua DPR, kemenangan dalam Pilpres mahkotanya kursi kepresidenan, bukankah selama ini seperti itu?

Akhirnya fraksi-fraksi di KIH juga sepakat untuk melayangkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR, karena pimpinan DPR mengakomodasi keinginan Koalisi Merah Putih. Mereka menilai pimpinan DPR tidak cakap melaksanakan tugasnya dan harus digantikan. Seluruh jabatan pimpinan DPR dan MPR minus pimpinan DPD telah mutlak diisi KMP, dan sekarang, seluruh pimpinan komisi juga hendak dimonopoli KMP, sehingga KIH hanya penonton saja.

Secara legal formal, KMP memang punya landasan hukum dalam memilih paket komisi sekaligus alat kelengkapan Dewan lainnya. Sementara, dasar hukum KIH membentuk pimpinan komisi tandingan sangat lemah. Tetapi, UU MD3 itu disahkan dalam suasana yang cacat legitimasi politiknya karena itu diputuskan sepihak, bukan oleh dua kekuatan politik yang ada. Tidak heran implikasinya menimbulkan krisis legitimasi.

Setidaknya, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meredam tensi politik kedua kubu. Pertama, mengoreksi UU MD3 dan mengembalikan semangat proses politik di parlemen yang demokratis, dan kedua, jika KMP memang ingin mengutamakan kepentingan bangsa, seharusnya tidak menyapu bersih kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan. KMP harus lebih akomodatif dengan memberikan kursi pimpinan komisi kepada KIH agar proses politik di DPR memiliki legitimasi kuat karena diikuti semua kekuatan politik.

Sedangkan yang terjadi saat ini, ada pemaksaan mengisi kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan sehingga menunjukan bahwa kekuatan politik yang ingin menguasai parlemen adalah kekuatan yang membahayakan bagi demokrasi. Di sisi lain, KIH juga perlu memperbaiki gaya komunikasi politik supaya menciptakan politik yang integratif dan tidak memperuncing polarisasi yang sudah ada.

Yang dilakukan KIH adalah sesuatu yang wajar, karena paket pimpinan dewan dan kelengkapannya cacat legitimasi dan tidak merepresentasikan rakyat. Mereka buntu, mentok, dikunci KMP. Jika KIH berdiam diri justru salah, dan harus melawan. Apa yang dilakukan KIH perlu didukung, tetapi dengan cara-cara yang sesuai mekanisme hukum dan peraturan yang ada. Pada titik nadir diharapkan kompromi KMP dan KIH terjadi untuk mewujudkan demokrasi yang sesuai dengan pola Indonesia, yaitu musyawarah dan mufakat. Ini semua demi Indonesia raya,bukan kelompok tertentu. Sebab dengan kisruh DPR yang terjadi saat ini, energi terbuang percuma. Yang menang atau kalah bukan untuk siapa-siapa. Jokowi bersama kabinetnya sudah berlari, namun DPR cekcok sesamanya yang membuang energi sia-sia.

Bandung, 2 Nopember 2014

Bernard Simamora

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline