Dalam 17 tahun terakhir, sejak status otonomi daerah diterima dan diresmikan pada 28 Juli 2003, Nias Selatan sudah 3 kali berganti periode kepemimpinan. Dalam kurun waktu itu pula, Nias Selatan yang sudah siap beranjak dewasa "sweet seventeen", belum juga bisa bersolek layaknya "gadis" seusianya yang bisa tampil dan melenggang di catwalk, apalagi siap untuk "menikah" dengan membentuk keluarga baru (daerah baru).
Nias Selatan memang cukup unik, baik dari sisi demografi maupun kuantitas penduduknya yang cukup banyak. Berdasarkan data statistik terbaru (2018/update 2020 masih dalam proses), penduduk Nias Selatan hampir setara dengan jumlah penduduk di 3 Kabupaten lain (Nias, Nias Utara, Nias Barat dan Kota Gunungsitoli) di Kepulauan Nias.
Nias Selatan sendiri, terdiri dari 35 Kecamatan dengan 459 Desa yang terbagi dalam 3 Wilayah yakni, selatan-tengah-timur. Artinya, Nias Selatan menempati urutan ke-10 sebagai Kabupaten dengan Desa terbanyak di Indonesia, dan urutan ke-1 di Provinsi Sumatera Utara.
Potensi demografi dan kependudukan merupakan modal utama Nias Selatan dalam mengkreasi pembangunan dipelbagai bidang. Apalagi didukung dengan APBD yang digelontorkan oleh Pemerintah Pusat sebesar 1,5 Triliun Rupiah (BPS 2020). Hal ini bisa ditambahkan dengan dengan DD yang terhitung (Bruto 1M/tahun untuk setiap Desa).
Artinya ada sekitar 1,6 Triliun Rupiah dana yang berputar di Wilayah Kabupaten Nias Selatan per tahunnya. Menjadi pertanyaan, apakah dana yang begitu besar tersebut terealisasi secara sejajar dengan kualitas dan kuantitas pembangunan di Kabupaten Nias Selatan? Tentu BPS Kabupaten Nias Selatan bisa mempertanggungjawabkan hal ini secara sahih dalam pembukuan. Apalagi dalam 2 tahun terakhir, Nias Selatan didaulat untuk mendapatkan predikat WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Ingat, ada kalimat dengan pengecualian.
Prestasi tersebut diatas sudah cukup membanggakan dan membangkitkan euforia di kalangan birokrasi, bahwa pembangunan di Nias Selatan sudah berjalan sesuai dengan koridor yang berlaku. Tapi disisi lain, anugerah "daerah tertinggal" yang disandang oleh Kabupaten Nias Selatan berdasarkan Kepres No. 63 tahun 2020 yang ditandatangani oleh Presiden RI, Joko Widodo, menjadi bumerang dan sisi ambiguitas realitas pembangunan yang sesungguhnya terjadi. Jika boleh bertanya tentang kesahihan predikat yang ada, mana yang lebih tepat untuk mendeskripsikan pembangunan di Nias Selatan, apakah predikat WDP atau Daerah Tertinggal.
Tentu, jawaban yang tepat untuk menilainya terletak pada kalangan "akar rumput" yang setiap harinya menjadi saksi hidup dan setiap harinya bergelut dengan kebanggaan dan kemirisan yang dipertontonkan. Ini bukan persoalan siapa yang salah dan siapa benar, tetapi lebih pada refleksi untuk masyarakat Nias Selatan bagaimana menyikapi realitas yang ada. Bila ditimang dalam sisi usianya yang beranjak dewasa, Nias Selatan ibarat gadis cantik yang layak dikagumi, tetapi minus keterampilan bersolek untuk mencuri perhatian juri di panggung catwalk.
Bergulirnya pucuk kepemimpinan yang bertugas sebagai "maker decision", belum sepenuhnya bisa mengakomodir kebutuhan hakiki masyarakat soal pembangunan, baik infrastruktur maupun sistem birokrasi yang terkesan jalan di tempat.
Perhelatan pesta demokrasi dalam Pilkada serentak tahun 2020, sudah di depan mata. Semua elemen sibuk dengan persoalan strategi bagaimana menjadi pemimpin dan pemutus kebijakan yang berorientasi pada yel-yel keberpihakan kepada masyarakat arus bawah. Sikap pragmatisme masyarakat yang sudah acuh tak acuh dengan siapa yang akan memimpin, menjadi ladang eksploitasi para elit birokrasi dan partai untuk mendulang suara dan 'memenangkan' hati masyarakat.
Sebab, bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan ke-serba kekurangan dalam beberapa dimensi, akan dengan mudah mengatakan "siapapun yang akan memimpin di Nias Selatan, tidak akan merubah secara signifikan bentuk hidup yang kita jalani saat ini". Artinya, ke-cuek-an masyarakat terhadap kepemimpinan di Nias Selatan menjadi tameng karena kebosanan akan situasi hidup yang begitu-begitu saja.
Tentu, hal tersebut diatas tidak bisa ditolerir jika masyarakat Nias Selatan sadar akan perannya dalam demokrasi. Masyarakat harus sadar sepenuhnya, bahwa arah angin pembangunan yang senada dengan harapan kesejahteraan akan terwujud bila peran aktif dari setiap elemen terakomodir secara tepat dalam menentukan sendiri pemimpinnya.