Kontestasi Demokrasi dalam skala grass root (khususnya desa-desa) di Kepulauan Nias sudah usai. Dinamika 'sengit' yang terjadi (sebagaimana diberitakan oleh media massa) hampir cooling down. Pola kepemimpinan sudah mulai dibentuk dengan melengkapi struktur.
Sebagaimana saya paparkan dalam tulisan sebelumnya berjudul 'Dana Desa jadi Dana Dosa, Tolonglah Pak Jokowi', tersirat begitu kentalnya euforia masyarakat desa yang merindukan sebuah pembangunan yang berkualitas di pelbagai bidang kehidupan di desa. Khususnya di Kepulauan Nias, kerinduan masyarakat pada umumnya adalah bagaimana agar konsep pembangunan nasional sebagaimana digaungkan oleh pak Jokowi dalam periode pertama pemerintahannya dengan hastag "membangun Indonesia dari Desa".
Sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia, Pak Jokowi melihat bahwa kebutuhan utama mayoritas masyarakat di desa adalah infrastruktur dalam bentuk jalan (transportasi), listrik dan komunikasi, selain soal kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan ekonomi. Maka tidak mengherankan bahwa karena intensi ini, Pak Jokowi menggelontorkan trilliunan rupiah dana untuk pembangunan fisik dan SDM masyarakat melalui DD (Dana Desa).
Semenjak bergulirnya DD ini pada tahun 2015, komponen masyarakat desa mulai menggeliat membangun idealisme pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan di desa masing-masing karena negara memfasilitasinya tanpa tahapan birokrasi yang ribet.
Tetapi untuk mampu membuat legacy atas hal itu, perlu ada (masuk) dalam sistem yang kita kenal dengan hierarki kepemimpinan di desa. Caranya adalah menjadi Kepala Desa agar berperan sebagai Making Decision.
Dinamika yang muncul kemudian adalah geliat demokrasi dalam bentuk politik praktis mendapat tempat. Manuver untuk mendapat posisi making decision (menjadi kepala desa) menjadi lahan perebutan.
Hal ini sangat berbeda dengan situasi sebelumnya bahwa yang layak menjadi kepala desa adalah sosok yang dituakan, terkenal karena kebijaksanaannya di masyarakat dan mayoritas masyarakat setempat mengafirmasi hal itu. Yang terjadi adalah tiba-tiba semua masyarakat menjadi lebih pintar dan semua merasa layak mendapat peran sebagai making decision.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menggerakkan semua masyarakat melakukan itu. Apakah gelontoran DD yang jumlahnya MM itu atau memang ada roh baru yang menginspirasi untuk melakukan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya untuk pembangunan masyarakat desa?
Ok, niat apapun semua sah-sah saja dalam negara demokrasi seperti kita anut. Kembali pada peresmian Kades terpilih di desa-desa di Kepulauan Nias. Apa sih hubungannya dengan Covid-19? Jauh banget yah... linknya dimana? Jangan mengada-ada donk coey hehehe..
Setelah pelantikan kepala desa oleh otoritas setempat (Pemda), euforia baru mencuat ke publik. Kepala desa terpilih dan terlantik seolah baru pulang dari medan perang mulai melakukan perayaan.
Perayaan dalam bentuk syukuran peresmian digelar diberbagai pelosok dan melibatkan semua elemen masyarakat. Masyarakat senang, karena dalam perhelatan peresmian itu, masyarakat kecil mendapat jatah makan dan lauk (daging enak).
Pesta peresmian menciptakan hiruk pikuk, ada keyboard, ada gelar baru bagi kepala desa (sebagian La'owasa dengan lambaian bendera/loyo dari kerabat yang mengadakan pesta) dan didatangi oleh petinggi-petinggi daerah. Amazing...