Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Pevita Pearce, Igor Saykoji, dan Denny Sumargo tiba-tiba saja menjadi idola di kalangan ana-anak pendaki gunung. Kelima artis peran ini lewat film garapan Rizal Mantovani yang diproduseri oleh Sunil Soraya kemudian ikut pula menggairahkan pendakian gunung di Indonesia.
[caption id="attachment_248840" align="alignnone" width="300" caption="Poster Film 5CM"][/caption]
Diangkat dari novel best seller karya Donny Dhirgantoro yang berjudul 5 CM, film layar lebar ini diberi judul yang sama. Dibagian akhir film, para tokoh dalam film ini kemudian melakukan pendakian ke puncak tertinggi di Pulau Jawa, Semeru. Tentu saja lokasi pembuatan film ini juga berada di kawasan elite buat para anak-anak pehoby trekking di gunung, yaitu di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) di Jawa Timur. Namun kemudian banyak yang terjebak dengan film ini. Film 5 CM bukan sebuah film tentang pendakian gunung, tapi lebih bercerita tentang sebuah persahabatan. Hanya saja, ada cerita dimana mereka melakukan kegiatan pendakian ke gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Namun yang menghebohkan dan membuat geger para “Pecinta Alam” bukan filmnya, tapi proses pembuatan film itu sendiri, terutama proses pengambilan gambar di kawasan TNBTS. Baru beberapa hari saja kru datang mempersiapkan segala sesuatunya di Ranu Kumbolo, anak-anak pecinta alam di Jawa Timur sudah geger di jejaring sosial. Beberapa hari kemudian, inbox saya sudah penuh dengan laporan anak-anak yang kebetulan berada di lokasi syuting. Hari berikutnya foto-foto beredar di sebuah group pecinta alam, yang merekam kegiatan pengambilan gambar di sana. Anak-anak pecinta alam di group jejaring sosial Facebook pun saling berantem, berdiskusi tentang pelaksanaan pembuatan film oleh Ram Soraya ini.
Biang keladinya teryata tuduhan perusakan lingkungan di kawasan TNBTS oleh para kru film Ram Soraya. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh para relawan, ternyata logistik mereka sangat fantastis. Dari kru film saja mereka membawa rombongan sebanyak 100 orang, sedangkan kru lokal sebanyak 150 orang yang bertugas sebagai porter. Logistiknya seberat 1200 kg dan ditambah 2500 kg peralatan sinematografi dan segala macam tetek bengeknya. Dapur umum untuk konsumsi tiap hari ada 4 buah, dengan dua dapur umum memakai bahan bakar kayu. Dan tentu saja banyak para kru yang mandi dan mencuci di danau Ranu Kumbolo yang terkenal itu.
Lalu darimana mereka memenuhi kayu untuk dapur dan untuk menghangatkan badan ketika suhu dingin. Ini dia perkaranya. Para kru film ini menebang pohon cemara yang ada di kawasan TNBTS. Ada 3 batang pohon dengan diameter 60-80 cm, dan puluhan pohon dengan diameter 20-40 cm yang ditebang untuk keperluan mereka. Dari 3 batang pohon dengan diameter 60-80 cm ini, jika dikumpulkan akan menghasilkan paling tidak 20 kubik kayu. Sedangkan dari pohon dengan diameter 20-40 sm, jika yang ditebang 20 pohon saja akan menghasilkan 100 kubik kayu bakar. Jadi ada sekitar 120 kubik kayu yang dihasilkan dari penebangan pohon oleh kru film “5 CM”.
Sekedar catatan, untuk jenis pohon cemara yang ada di kawasan TNBTS, untuk mencapai diameter 60-80 cm dibutuhkan paling tidak lebih dari 50 tahun. Dan populasi pohon ini sudah sangat sedikit dikawasan TNBTS. Rupanya ini yang menjadi pangkal kemarahan para anak-anak pecinta alam dan fans berat Gunung Semeru.
Menurut UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 50 dan 78, disebutkan bahwa perambahan atau penebangan pohon hutan dilarang dan pelakunya bisa dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 10 tahun dan denda Rp 5 milyar. Sedangkan UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pasal 33 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional. Pelanggarnya bisa diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 50 juta. Lalu kenapa tidak ada tindakan atas pelanggaran ini oleh para Polisi Hutan baik dari Balai TNBTS dan BKSDA?
Namun yang lucu, ketika beberapa teman pada saat pembuatan film ini mengetahui perusakan hutan di kawasan TNBTS ini ke Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan membawa data bukti foto, mereka mengabaikan dan menyuruh menghapus file foto ini. Yang mengecewakan tentu saja pihak Balai Taman Nasional sebagai otoritas yang mengeluarkan SIMAKSI (Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi) untuk kru Ram Soraya ini.
Ada banyak jenis SIMAKSI yang bisa dikeluarkan untuk para pengunjung Taman Nasional. Ada SIMAKSI untuk para pendaki yang notabene sebagai wisatawan biasa, ada SIMAKSI untuk peneliti, juga untuk pengambilan gambar baik foto maupun video komersial seperti pembuatan film dan iklan. Untuk yang terakhir ini, mereka kemudian wajib membayar royalti ke kas negara atas hasil yang didapat dari kegiatan komersial yang dilakukan di kawasan TNBTS. Hal ini, saya tidak tahu, apakah Ram Soraya membayar royalti ke Kas Negara atau tidak atas hasil dari film 5 CM?
Jadi untuk sekedar membuat film yang ternyata bukan sebuah film petualangan di gunung, dengan judul 5CM harus menghabiskan kayu sebanyak 120 kubik hasil dari perusakan di kawasan TNBTS. Ini yang membuat mereka marah! Dan mungkin mereka sekarang sedang menggalang kekuatan dan dana untuk menggugat produser film secara hukum atas perusakan di TNBTS ini.
[caption id="attachment_254228" align="alignnone" width="428" caption="Foto kondisi waktu pembuatan Film 5CM, tampak kru lokal membawa kayu untuk keperluan dapur dan perapian"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H