Lihat ke Halaman Asli

Mati di Kloset

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lagu sendu tentang kematian terdengar mengalun perlahan dalam kegelapan. Tak satu pun yang tahu siapa yang berada di balik kegelapan yang sedang menyenandungkan lagu itu. Lagu tentang kematian...ya, lagu tentang kematian bukan lagu tentang terlahirnya sebuah kehidupan. Kehidupan tak pernah hadir dalam kepastian, tak pernah hadir sendirian tanpa ditemani tanya. Tetapi kematian...kematian datang sebagai kepastian, datang seperti sebuah kalimat berita yang digoreskan seorang wartawan. Tak pernah kematian datang ragu-ragu. Suara sang penyanyi semakin sendu, semakin pilu, semakin menyayat hati, lebih mirip sebuah jeritan kesakitan. Ini...ini nyaris seperti...akh suara sendu pelantun lagu kematian makin keras tanpa tegas. Ya, tak ada tegas di sana . Tak ada pekik tapi ini teriak menyanyi. Lagu sendu kematian lalu terdiam serentak, tak ada bunyi lain di sana . Hening dalam sepi.

* * *

Chandra terlahir sebagai bulan yang muncul di tengah kegelapan. Saat ia lahir langit sedang gelap. Tak ada sepenggal pun bulan yang menampakkan rupanya. Jadilah ia tercipta dengan nama Chandra, seperti nama yang dimilikinya saat ini, tentu sampai ia kembali ke dunia yang merindukannya. Ia amat manis, menawan, cantik, tapi wajahnya tidak bopeng seperti permukaan bulan (ia sering tertawa kalau membayangkan hal ini...hahaha...). Ia terlahir sebagai Chandra, tujuhbelas tahun yang lalu [sekali lagi!] ketika di langit tak ada bulan dan ketika bintang-bintang tak satupun yang menghiasi kepekatan sang malam.

Chandra memang selalu ceria. Tak pernah sedih, mungkin selamanya dia tak akan sedih. Ia seolah tercipta sebagai sosok yang akan selalu tertawa, sosok yang akan selalu tersenyum dan sosok yang akan selalu riang, nyaris tak ada sendu di wajahnya. Banyak orang heran memandang pembawaannya itu. Mungkin juga orang-orang itu iri terhadapnya. Tapi, ia seolah tak pernah menghiraukan orang-orang itu. Ia tak mau peduli pada orang-orang itu. Di sekolahnya pun ia tak mau peduli pada temamn-temannya yang memandang heran pada kepribadiannya. Sayang, ia tak pernah bisa menyangkal kalaau ia...hatinya amat pilu, sedih. Ia tak punya ayah.

“Bu...Ibu...Ayah mana?” tanyanya suatu ketika kepada ibunya. Ibunya terdiam. Ia memandangi anak gadisnya yang pasti ingin tahu sperma siapa yang membuahi ovumnya sehingga lahirlah manusia yang kini duduk di hadapannya. Ya, anak gadisnya sendiri.

“Ibu...Ibu kok diam? Ayah mana?” tanyanya sekali lagi. Hanya diam. Tak ada suara.

“Mengapa Ibu diam kalau saya bertanya tentang ini? Sudah berkali-kali saya bertanya tetapi Ibu tak pernah cerita!”

Masih hening. Masih tak ada suara dari sang Ibu. Hanya pandangan sendu.

“Bu...,” ia mengguncang tubuh ibunya. Menyadarkan sang ibu yang mungkin sudah terbang ke alam khayal.

“Ah...anakku,” suara sang ibu lebih nampak sebagai desah,”panjang sekali cerita tentang ayahmu. Ibu tak...”

“Saya sudah tujuhbelas tahun, Bu. Saya bukan anak kecil lagi. Saya juga perlu tahu tentang kisah Ibu karena Ibu...Ibu yang tahu dari mana saya berasal.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline