Lihat ke Halaman Asli

Bernadetha Melarosa

Mahasiswa Kedokteran Hewan SIKIA Universitas Airlangga 2022

Perempuan dan Stigma yang Menghantui

Diperbarui: 11 Mei 2023   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terlahir sebagai seorang perempuan merupakan suatu anugerah sekaligus menjadi sebuah malapetaka. Banyak tantangan yang harus dihadapi untuk dapat bertahan hidup menjadi entitas yang dianggap sebagai warga kelas dua. Sejatinya, perempuan hidup berdampingan dengan stigma-stigma yang merayap di masyarakat. Stigma ini menghantui setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Tidak boleh seperti ini, tidak boleh seperti itu, harus begini, harus begitu. Semua diatur hanya karena label yang tertanam dalam diri sebagai perempuan.

Menjalani kehidupan bermasyarakat di Indonesia, membuat saya sadar akan banyaknya ketidakadilan gender yang masih terjadi hingga saat ini. Kasus pelecehan, pemerkosaan, kekerasan, hingga pembunuhan yang terjadi pada perempuan nampaknya selalu mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Lalu, mengapa hal ini selalu terjadi? Meskipun ruang gerak perempuan dibatasi, tetapi pada kenyataannya masyarakat masih saja menyalahkan perempuan atas kesenjangan yang ada.

Perempuan dinilai kecil dan tidak berdaya. Mereka menganggap memiliki hak untuk mengatur dan memegang kendali atas perempuan, sehingga masuk akal kasus-kasus tersebut timbul. Pikiran kolot masyarakat berpendapat bahwa semestinya perempuan menjaga cara berpakaian, cara betutur kata, dan bertingkah laku agar tidak mengalami penindasan. Seakan tutup mata terhadap pikiran dan niat jahat pelaku yang mana merupakan satu-satunya alasan kasus kekerasan pada perempuan dapat terjadi.

Selain kasus-kasus di atas yang masih marak terjadi, stigma lainnya yang tertuju pada perempuan adalah sebagai seorang pekerja. Perempuan yang bekerja keras dianggap terlalu berdikari sehingga membuat laki-laki merasa insecure dan tidak pantas, apalagi jika penghasilan yang didapatkan lebih tinggi. Perempuan yang bekerja pulang malam dicap perempuan tidak benar. Namun, perempuan yang tidak bekerja tetap juga mendapat cibiran karena dianggap perempuan malas yang hanya mengandalkan pria saja.

Perempuan yang mengalami kekerasan seksual justru dipojokkan dan disalahkan, dianggap turut bersalah karena pakaian yang ‘mengundang’. Menganggap korban ‘menikmati’ hanya karena tidak melawan, padahal kenyataannya korban kekerasan seksual tidak mampu melakukan perlawanan karena bisa saja tonic immobility menyerang.

Masyarakat juga menganjurkan perempuan untuk tidak usah bersusah payah melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi. Semua akan sia-sia dan buang-buang waktu karena ujungnya pun fitrah perempuan adalah bekerja di dapur, mengurus suami dan anak, begitu kata mereka. Namun, perempuan yang tidak mendapatkan haknya dalam pendidikan, dicibir bodoh dan tidak tahu apa-apa.

Selain contoh-contoh yang saya paparkan di atas, jelas masih sangat banyak hal diskriminasi lainnya yang terjadi pada perempuan dan sangat dekat dengan masyarakat kita. Sangat disayangkan karena stigma-stigma ini pun lahir dari mulut-mulut para perempuan juga. Lantas, di mana ruang aman bagi perempuan di Indonesia tanpa stigma-stigma yang melekat dalam diri mereka? Kapan perempuan dapat hidup dengan damai tanpa adanya cibiran masyarakat yang menghantui?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline