Lihat ke Halaman Asli

Bidadari Bersayap Patah

Diperbarui: 4 Februari 2018   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Armstire.co.uk

Kuhabiskan teguk demi teguk kecil kopi pagi di tepi danau kampusku. Memandang jauh, melepas kepenatan pikiran yang membuat huru-hara besar di otakku. Ada apa denganku?! Kekurangan diri apa yang belum ku penuhi?! Ada apa denganku?! Sekali lagi kubertanya ada apa denganku pagi ini. Memperoleh kepercayaan teman, kepercayaan dosen, bahkan kepercayaan keluarga karena aku lelaki satu-satunya di rumah, harusnya semua itu cukup untukku. Memperoleh ketenaran di kampus, mudah bagiku mendapat teman bahkan kekasih. Namun aku selalu merasa kurang. Apakah aku terlalu serakah dalam kehidupan?!

Tak jauh dari gazebo tempatku menyesali keaadaanku akhir-akhir ini, perhatianku tertuju pada satu titik tawa riuh di tengah danau. Aku iri melihat tawa lepas mereka, para penggiat lingkungan atau lebih ringan di telingaku kusebut mereka aktivis alam, sedang mendayung perahu karet di atas air danau yang tenang. "Ah, mereka melakukan hal yang sia-sia menurutku di pagi yang damai ini!". Aku berkata lirih.

"Bukan mereka yang melakukan hal sia-sia. Tapi kamu yang melakukan hal sia-sia, menghabiskan pagi ini dengan muka masam. Tidakkah kamu tahu, kopimu tidak lagi pahit. Tetapi hambar!". Ah, si empu kalimat runcing ini adalah teman dekat dari teman kecilku dulu. Kami bertemu tanpa sengaja, berkenalan, dan perlahan kami membuat sebuah cerita kehidupan diantara kami bertiga. Aku, temanku, dan dia. Setelah berkata, dia tersenyum. Pipi mengembang, mata menjadi lebih sipit, gigi kelinci sedikit mengintip diantara belahan bibir bergincunya, itulah senyuman khas darinya.

Tanpa membalas kalimatnya, kusodorkan cangkir berisi kopi hitam yang telah kuseruput sedikit tadi. Dia memandangku seraya berkata, "No Thanks...Aku tidak lagi bercumbu dengan kopi hitam karna lambungku akan cemburu. Tapi tidak ada salahnya jika aku mencobanya sendiri". Wajah menggemaskan sedikit menyebalkan membuat aku ingin meremas pipinya pagi ini. Tetapi kuurungkan niat gila itu karena pelayan cafekampusku telah datang membawa pesanannya. Original Cappuchino dengan foambergambar wajah beruang! Tepat sekali tebakanku. Cerdas sekali! Aku memuji diriku sendiri. "Terimakasih mas..". Ujarnya seraya tersenyum kecil kepada pelayan cafeitu, pelayan itu pun membalasnya. Ramah seperti biasa, batinku dalam hati.

Mahasiswa berlalu-lalang melewatiku, sesekali mereka yang mengenalku menyapa. "Pagi Gub..." Itulah panggilan akrabku setahun ini. Ya, tanpa menyombongkan diri, aku adalah Gubernur (Gelar ketua BEM Fakultas) dari salah satu fakultas favorit di kampusku. Aku menebak-nebak apa yang ada didalam pikiran orang-orang yang menyapaku tadi. Pastilah mereka bertanya-tanya, Siapa sebenarnya gadis disampingku? Ah, mengapa tiba-tiba pikiranku teralihkan setelah gadis menyebalkan duduk menemaniku pagi ini. Entahlah!

Tak pernah sedekat ini aku memandanginya. Meskipun dia berkali-kali datang ke kampusku di pagi hari (kita berbeda kampus) hanya sekedar menulis di tepian danau dan menikmati secangkir original cappuchino atau segelas susu murni. Apakah karena suasana hatiku yang kacau ini membuatku sedikit sentimentil dengan suasana seperti ini. Mungkin saja... Hal itu membuatku bergidik geli.

Dia... Gadis itu... Aku tidak begitu mengenalnya, tidak seperti temanku. Yang kutahu, gadis itu bernama Dhatu, cukup aneh bagi mereka yang baru mendengarnya. Mahasiswi dari salah satu kampus islam negeri di kotaku (aku warga asli kota ini). Mencari ilmu disalah satu jurusan yang mengabdikan diri untuk pendidikan anak usia dini. Mengagumkan! Tapi dia selalu menjadi dirinya sendiri ketika berada diluar bidangnya.

Tiba-tiba, dia menceritakan kisah hidupnya. Tanpa tersaring satu kata pun dari bibirnya. Aku percaya itu, karena ekspresi wajahnya itu mencerminkan kebenarannya. Sembari menulis dan sesekali meneguk cappuchinodidepannya. Tidak hanya kisah putih yang dia alami, abu-abu bahkan hitam telah dia lalui. Tidak lama ia bercerita panjang lebar, kuperkirakan sekitar 20 menit tanpa kusela sedikitpun. Tanpa kusadari, aku terhipnotis dengan ceritanya. Itu seperti magnet yang kuat untukku.  

"Aku pikir ini cukup". Katanya sembari menutup buku catatan. Kutengok cangkirnya telah kosong, tak lagi tergambar wajah beruang. "Hanya sebentar?". Tanyaku padanya. Dia menatapku tajam, seolah menerka apa maksud perkataanku barusan. "Aku ada jam pagi ini. Lagipula, pagi ini otakku hanya mampu memproduksi beberapa bait puisi. Selepas kuliah aku di tempat biasa". Dia tersenyum dan berlalu. Ah bodoh sekali pertanyaanku tadi. Itu bukanlah gayaku!! Menyesal, tapi apa boleh buat, semua itu telah berlalu.

Detik ini, Dhatu mulai merebut semua hal dariku. Bidadari!Entah, kata itu meluncur tanpa aling-aling dari bibirku. "Dhatu, bidadari bersayap patah", bolehkah kumenambahkan kata '-ku' untuk melengkapi kata itu?! Aku hanya tersenyum geli dalam hati. Dhatu, nanti akan kutulis satu kisah atau bahkan beberapa kisah mengenai dirimu. Agar semua orang tahu, tidak ada kesempurnaan dalam setiap kehidupan itu. Dhatu, bidadari yang menemaniku pagi ini, dan kini dia telah berlalu.

Bersambung...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline