Kita ditakdirkan menjadi dua hal yang berbeda, meski kita sama-sama berwujud manusia. Sifat, etnis, kesukaan, bahkan tujuan hidup yang berbeda sehingga alur yang kita terlampau tak sama. Kita berusaha mencari satu yang sama, meski itu sulit bagi kita. Kopi! Ketika sore mulai berganti, hingga malam juga berganti. Kita tak pernah lepas dari secangkir kopi. Membicarakan hal-hal yang sia-sia dan palsu, terkadang tabu, terkadang juga suatu hal yang perlu. Entah berapa cangkir kopi yang telah kita habiskan bersama. Namun itulah realita!
Kau terlahir di salah satu lembah sungai termasyhur di daratan Sumatra. Tumbuh besar dengan harapan mejadi seorang nahkoda, yang akan memimpin bahteramu jauh dari asalmu berada. Tanah jauh yang kau sebut dengan tanah rantau, dengan penuh harap kau tancapkan panji nenek moyangmu diatasnya dan berkata, "Inilah kami para pewaris darah Sriwijaya".
Jauh sebelum kau lahir, nenek moyangmu juga melakukan yang sama. Ekspansi kemana-mana, menorehkan tinta sejarah menjadi kerajaan maritim tertua Nusantara (nama lain Indonesia). Menciptakan peta penjelajahan dan jalur rempah dunia. Sungguh merupakan warisan teragung bagi Indonesia (Nusantara saat ini). Kerajaan maritim sekaligus kerajaan terbesar Nusantara pertama. Ekspansi wilayah meliputi Nusantara, Semenanjung Malaya, Kampuchea, bahkan hingga Negeri Champa.
Aku terlahir di sebuah daratan yang dulu disebut Dwipa (sekarang Jawa).Tepatnya di tengah dataran rendah jauh dari samudra tempat lahirnya para raja. Aku bukan darah Majapahit, bukan juga Singhasari ataupun Kedhiri. Aku titisan darah WangsaIsyana. Dimana nenek moyangku berasal dari Dinasti Mataram Jawa Tengah yang melakukan pelarian menuju Jawa Timur. Wangsakami menurunkan raja-raja besar penguasa Nusantara bahkan Asia Tenggara. Namun, namamu merupakan luka bagi wangsaIsyana.
Entah apa yang sebenarnya terjadi dimasa lalu kita. Namun yang sedikit kutahu, Medang yang lebih dikenal dengan Mataram bagai saudara dengan Sriwijaya. Terutama Sang Balaputradewa adalah merupakan pewaris darah campuran dari permaisuri Tara (Putri Sriwijaya -- anak Dharmasetu) dan Raja Samaratungga (Rakai Warak -- versi N.J. Krom dan Coedes; Rakai Garung -- versi Slamet Muljana) yang merupakan pewaris Kerajaan Mataram dari wangsaSailendra yang naik tahta dan membangun pemerintahan yang sebelumnya diperintah dibawah WangsaSanjaya.
Kemudian Balaputradewa terbuang dari tanah Mataram karena kalah melawan Rakai Pikatan (pewaris WangsaSanjaya) yang menikah dengan Pramodawardhani (keponakan Balaputradewa -- versi Slamet Muljana; adik dari Balaputradewa -- versi Bosch dan De Casparis). Lalu Balaputradewa diangkat sebagai raja penerus tahta. Dengan kata lain, pusat pemerintahan Sriwijaya pernah berpindah ke Jawa pada pemerintahan Raja Samaratungga. Dua kerajaan besar dipimpin dibawah satu naungan yakni WangsaSailendra.
Lalu muncul-lah beberapa peperangan antara Medang -- Sriwijaya. Ketika pusat pemerintahan Medang berpindah ke Jawa Timur yang kemudian dikenal dengan pemerintahan WangsaIsyana, namun tetap memproklamirkan sebagai bagian dari Mataram Jawa Tengah (sebelumnya), Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram, pihak Sriwijaya tetap mengirimkan pasukannya guna menyerang kerajaan ini. Daerah kelahiranku adalah saksi dimana pasukan Sriwijaya-mu dipukul mundur dari tanah Mataram Isyana ini. Saling serang antara Medang -- Sriwijaya mendarah daging dimasing-masing pewarisnya. Hingga keruntuhan Medang pada masa Dharmawangsa akibat penyerbuan Aji Wurawari yang bersekongkol dengan Sriwijaya.
WangsaIsyana bukannya lenyap dalam cerita, kronik sejarah mengatakan WangsaIsyana hidup kembali dengan berdirinya Kerajaan Kahuripan oleh Airlangga. Janggala, Kadhiri, Singhasari, bahkan Majapahit lahir dari WangsaIsyana kami. Pada masa Majapahit (Kerajaan Nusantara II), usia Sriwijaya telah dicukupkan. Gelar kerajaan Nusantara haruslah berpindah tangan. Namun gelar Kerajaan Nusantara II tidak akan pernah ada jika tidak ada Kerajaan Nusantara I.
Namun itu semua berakhir menjadi sebuah cerita. Cerita penuh makna yang menjadi pengingat agar keturunan anak cucu tak mengulang kesalahan yang sama. Kini, pewaris darah Sriwijaya dapat duduk menikmati secangkir kopi, bercengkrama dalam bingkai sebuah cerita, bersama kami pewaris darah WangsaIsyana. Tak ada lagi luka maupun dendam yang membara. Dendam itu telah hilang selama beribu-ribu tahun lamanya.
Tulisan iseng ini terinspirasi dari kisah peperangan antara Kerajaan Sriwijaya Sumatra dengan Kerajaan Medang Kamulan WangsaIsyana Jawa Timur yang terjadi di Kabupaten Nganjuk. Namun pembangkit imajinasi dalam tulisan ini adalah tiap cangkir kopi yang penulis habiskan bersama para pewaris darah Sriwijaya di Kota Malang, Jawa Timur.
Musim penghujan akhir tahun 2017
Malang