Lihat ke Halaman Asli

Dua Pertanyaan Besar yang Tidak Terjawab dari Persidangan Kasus SKL BLBI

Diperbarui: 30 Agustus 2018   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah bergulir kurang lebih tiga setengah bulan, persidangan perkara Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) Senin depan (3/9/18) sampai pada tahapan selanjutnya, yaitu mendengarkan pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Puluhan saksi sudah diperiksa, saksi-saksi ahli hadir, agenda pemeriksaan terdakwa pun sudah dilakukan.

Semuanya bertujuan membuktikan dakwaan JPU KPK bahwa Mantan Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada obligor BLBI pemegang saham (PS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim. Sehingga, SAT merugikan keuangan negara.

SAT, Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu diseret ke meja Pengadilan Tipikor Jakarta sejak 14 Mei 2018 lalu. Belasan saksi baik yang diajukan oleh JPU maupun oleh penasehat hukum berseliweran di layar kaca dan media cetak. Deretan saksi ahli pun hadir dan memberikan pendapat sesuai expertise mereka masing-masing.

Sepanjang saya mengikuti persidangan hingga saat ini, ada dua catatan yang menurut saya menarik. Kedua catatan ini adalah: pertama, hingga saksi terakhir usai diperiksa, unsur pidana dalam kasus ini masih tidak terbukti dan kedua, audit BPK yang digunakan melanggar asas audit yang dimiliki BPK sendiri. Berikut pemaparan saya.

Tidak terpenuhinya unsur pidana

Dalam persidangan (16/8/18) ahli Hukum Pidana Andi Hamzah memberi another insight pada sidang mengenai dua unsur dasar yang harus dipenuhi dalam suatu perkara pidana. Dua unsur dasar ini yaitu "actus reus" atau 'perbuatan yang melawan hukum' dan "mens rea" atau 'itikad yang melatarinya'. 

Guru besar ilmu hukum Universitas Trisaksi tersebut menyatakan dua elemen mendasar yang dipersyaratkan inilah yang tidak ada dalam perkara Syafruddin Temenggung. Padahal, tanpa salah satunya saja, tindak pidana tidak terpenuhi. Artinya, ketiadaan mens-rea-nya, bisa membuat seseorang lepas dari segala tuntutan hukum. Begitu pula ketiadaan actus reus.

Andi Hamzah dalam JPNN mengatakan, "Memperkaya orang lain mesti ada motifnya. (Sjamsul) Nursalim ada hubungan keluarga dengan itu (Syafruddin) gak?Tidak ada kan? Jadi untuk apa memperkaya dia (Sjamsul Nursalim). Di mana otaknya? Memperkaya orang lain kemudian merugikan negaranya sendiri? Tidak masuk akal kan? (Kecuali) kalau dia berbuat itu karena ada ada suap. Suap atau kickbackitu (pun) sama sekali tidak ada dalam dakwaan terhadap Syafruddin." 

Ketiadaan motif ini adalah hal yang ganjil. Wajar saja, menurut Andi Hamzah seperti diberitakan di Sindo, dalam Pasal 3 UU Tipikor, terdapat kalimat "Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi." Kalimat ini, kata Andi Hamzah lagi termasuk kategori perbuatan sengaja tingkat satu.

Artinya, untuk menjerat seseorang menggunakan pasal ini, harus dibuktikan ada kesengajaan sebagai maksud. Karena ada kata-kata "dengan tujuan", sedangkan semua pasal undang-undang pidana yang memiliki kata "tujuan", "dengan maksud", itu artinya ada kesengajaan.

"Jadi perlu ditekankan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 itu perbuatan sengaja. Tidak bisa kelalaian, tidak bisa pengabaian, memperkaya artinya sengaja," ujarnya seperti ditulis di Bisnis. Sebagai catatan, dalam dakwaan terhadap SAT, memang sama sekali tidak tercantum mengenai suap atau kickback (pemberian balik) yang diterima oleh SAT.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline