Kemarin malam, sepulang suami dari kantor, saya mengajaknya membeli roti bakar. Tidak jauh dari tempat tinggal kami, di dekat Pasar Pondok Labu.
Setibanya di depan gerobak roti bakar, alih-alih langsung memesan, perhatian saya malah teralihkan pada keadaan malam Jakarta yang masih hiruk pikuk sekalipun waktu sudah menunjukkan nyaris pukul sembilan malam.
Kendaraan dan pejalan kaki yang lewat masih cukup ramai. Terlebih di tempat ini merupakan kawasan penjualan makanan kaki lima yang sangat ramai di malam hari. Berderet gerobak makanan di sepanjang sisi jalan. Ada roti bakar, pecel lele, nasi goreng, bubur kacang ijo, sate padang, dimsum, bebek panggang, susu jahe, martabak, bahkan ada minimarket di sudut jalan.
Melihat saya sedang asyik menikmati pemandangan malam, suami berinisiatif memesan ke abang penjualnya, roti bakar isi nanas coklat.
Tak lama, suami menarik saya untuk duduk di kursi kayu panjang yang disediakan penjual roti bakar. Ada sepasang muda-mudi duduk di ujung kursi sambil berpegangan tangan, dengan tangan sang wanita di pangkuan sang lelaki. Di balik masker saya jadi senyum-senyum sendiri, mesranya anak muda...
Sadar sedang memesan roti bakar, pandangan saya beralih pada abang penjual. Sempat saya perhatikan si abang yang sedang beraktivitas memotong roti, mengolesinya dengan selai, lalu menaruhnya di atas panggangan. Terlihat asik melihat kecekatannya memanggang banyak roti dalam waktu singkat.
Beberapa saat kemudian, saya mulai merasa seperti ada yang salah dengan si penjual ini. Setelah saya perhatikan lebih seksama, benar saja, saya baru ngeh, si abang penjual roti bakar enggak pakai masker. Alamaaak...
Apa daya saya sudah memesan. Kalau belum, mendingan enggak jadi beli.
Saya pun nyeletuk ke suami, "Koq enggak pakai masker sih?"
"Siapa?" tanya suami balik. Ternyata suami juga enggak sadar kalau si penjual ini tanpa masker.