Bila bicara tentang keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, khususnya untuk pekerja di beberapa perusahaan swasta di negeri tercinta ini, saya rasa sepertinya masih jauh panggang dari api.
Waktu yang dimiliki pekerja pastinya akan lebih banyak digunakan untuk bekerja daripada untuk kehidupan pribadi.
Hal ini terjadi salah satu pemicunya bukan karena kemauan pekerja, namun lebih banyak karena kemauan perusahaan. Setidaknya, hal ini yang pernah saya alami dulu ketika masih bekerja.
Bekerja di sektor jasa keuangan, jam kerja bisa berubah setiap hari. Aturan resminya memang ada, sekian jam. Namun dalam.praktiknya, manajemen berhak mengubah sesuai kebutuhan.
Berkali-kali, ketika saya sedang hamil, saya bahkan harus berada di kantor antara 10-12 jam setiap hari. Padahal kehamilan saya cukup payah. saya mengalami mabuk berbulan-bulan.
Ya begitu dengan berbagai alasan, manajemen bisa menahan karyawan untuk lebih lama berada di kantor.
Hal yang sama dialami suami sebelum pandemi. Mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sepertinya cukup sulit. Hampir setengah waktu dari hari-harinya digunakan untuk bekerja.
Bagaimana tidak? Suami berada di kantor rata-rata sekitar 11-12 jam setiap hari. Waktu perjalanan pergi-pulang sekitar 2,5 jam. Suami hanya menghabiskan waktu kurang lebih 11 jam saja di rumah. Itupun belum dipotong waktu tidur malam sekitar 7 jam.
Jadi, hanya tersisa waktu 4 jam saja untuk berinteraksi dengan anak dan istri. Belum lagi bila terkadang harus melanjutkan pekerjaan kantor di rumah. Semakin sempit waktu untuk kehidupan pribadi.
Setiba di rumah pun pastilah sudah dalam kondisi tubuh yang lelah, sekalipun suami jarang menunjukkannya.
Selain itu, hari kerja bukan 5 hari, tetapi 6 hari hingga hari Sabtu. Meskipun di hari Sabtu resminya hanya setengah hari kerja, namun tetap ada saja pekerjaan yang harus dituntaskan sebelum menginjak hari baru di minggu berikutnya. Dan suami baru bisa tiba di rumah di hari Sabtu antara pukul 4-5 sore.