Sebenarnya saya tak ingin lagi mengingat-ingat kejadian ini. Sejujurnya saya ingin membuang kisah ini jauh-jauh ke dalam perut bumi, biar tidak terkenang lagi. Karena kisah ini memang bukan kenangan yang menyenangkan untuk dikenang. Menghadapi orang-orang terkasih sakit saat pandemi itu bagai mimpi buruk. Tak pernah terbayangkan, tak pernah diduga, tapi sungguh terjadi, dan harus dihadapi. Rasanya seperti sedang berada dalam pesawat yang sedang terbang di tengah badai, kilat menyambar-nyambar, lalu pesawat nya terguncang-guncang hebat. Tahu kan kalau lagi di dalam pesawat dan kondisinya seperti itu, tidakk bisa beranjak dari kursi, tidak bisa lari ke manapun, hanya bisa tertunduk berdoa dalam kepasrahan diri total pada Yang Kuasa.
Tapi setelah saya pikir-pikir, tidak ada salahnya berbagi pengalaman, sebagai pelajaran hidup, juga sebagai pengingat pada diri saya sendiri, bahwa pencobaan yang saya alami tak akan pernah melebihi kekuatan saya.
Hari pertama
Dimulai tepat di Hari Minggu Paskah tanggal 12 April, "si ganteng', putra semata wayang kami tiba-tiba demam, di atas 38 derajat. Padahal baru saja dua hari sebelumnya, tepatnya di Jumat dan Sabtunya, suami saya mengalami demam pula. Dengan berbagai usaha yang saya lakukan, mulai dari memberi obat turun panas, memberi banyak minum, hingga memberikan jamu dan ramuan herbal, di hari Minggu itu, keadaan suami mulai membaik, suhu tubuhnya sudah kembali normal.
Baru saja bernapas lega dengan kesembuhan suami, kembali adrenalin saya dipacu untuk berpikir dan bertindak cepat menghadapi anak demam.
Saya coba memberikan obat turun panas dan vitamin. Selain itu saya berikan banyak minum dan saya bantu dengan kompres. Namun suhu tubuhnya turun naik. Bahkan sepanjang malamnya saya hampir tidak tidur sama sekali karena terus menerus mengganti kompres, dan membantunya untuk ke kamar mandi dan memberikan cukup minum.
Selain itu pikiran saya pun mulai tidak tenang. Cemas dan takut mulai menghampiri, apalagi tinggal di zona merah COVID-19. Gejala sakitnya pun mirip-mirip. Ada demamnya, dan batuk sesekali.
Hari ke dua
Keadaan ini terus berlanjut sampai hari Senin keesokan harinya. Untungnya suami saat itu masih wfh, sehingga saya sedikit terbantu.
Di sore harinya, demam si ganteng semakin tinggi, sampai 39,4. Saya tidak bisa tenang lagi. Akhirnya kami putuskan untuk membawanya ke sebuah rumah sakit swasta di dekat tempat tinggal kami, walaupun sebenarnya ingin sekali menghindari rumah sakit sebisa mungkin.