Kemilau cinta di matamu, yang jelas terlihat di akhir penantian panjang kita, kian lama kian pudar. Berganti tatapan sendu dan pilu.
Semburat merah malu-malu pada pipi indahmu, tak lagi nampak. Berganti raut pucat dan sayu.
Bukan karena kau berhenti mencintai, aku tahu. Namun karena cintumu tak menemukan perhentian yang layak. Karena cintamu tak mendapatkan sambutan yang hangat.
Kau berjuang sendiri, aku tahu itu. Kau merasa tak layak dicintai, tak kupungkiri itu.
Sementara aku, aku dimana? Aku terlalu sibuk menggali cinta masa lalu, cinta yang telah terlalu dalam terkubur waktu.
Aku terlalu sibuk bermain-main dengan buaian nan memabukkan, mengabaikanmu di sudut rindu.
Kini, saat kau diam membisu, saat matamu tertutup layu, penyesalan tak bertepi menderaku.
Ingin saat ini kuberlari masuk dalam mimpi indahnu, mengalunkan nada nada cinta, yang selama ini kau rindukan.
Memohon ampun untuk semua kepedihan yang telah kutorehkan.
Akan kukumpulkan dan kutata kembali kepingan asa yang telah kuhancurkan.
Akan kuhiasi ruang hatimu dengan bunga-bunga cinta paling indah dari yang pernah kau lihat. Sungguh, ini janjiku.
Kini, aku berharap kau segera terjaga dari tidur panjangmu.
Kumohon... segeralah terjaga, aku merindukanmu.
Jkt, 22 Jan 2020
Terinspirasi dari Mahogany Hills, sebuah novel karya Tia Widiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H