Malam ini adalah malam ke-tiga dari bulan ramadhan tahun 1445 H / 2024 M. Suasana berbuka terlihat meriah penuh canda tawa di tengah keramaian pasar malam ini. Para pengunjung yang membeli takjil, ada yang membungkus untuk dibawa pulang dan ada yang makan di tempat yang sudah disediakan penjual.
Bagi mereka yang memilih untuk berbuka di tempat adalah pemandangan dari bulan sabit dan langit malam yang bersih dari awan-awan gelap. Mereka yang menyaksikan pemandangan itu pun, seolah terseucikan dari serba-serbi kehidupan. Bukan hanya umat muslim yang menikmati syahdu dan tenangnya malam ke-dua dari puasa Ramadhan ini.
Umat yang bukan muslim juga merasa ter-berkati oleh ketaatan dari hamba-hamba yang tulus beribadah kepada tuhannya ini. Ketaatan dan ketulusan dalam menahan rasa lapar, haus, emosi, dan melakukan kejahatan, menjadi hari-hari yang dipenuhi oleh senyuman dan keikhlasan karena mengharap kepada ridhanya.
Aku yang telah puas dengan beberapa tegukan dari es cendol daganganku pun bergegas memenuhi panggilan shalat maghrib. Walau sedikit telat, dan tidak dapat berjamaah putaran yang pertama bersama imam mesjid dengan suara yang merdu, aku masih memiliki sahabat sedagang yang menemaniku untuk beribadah secara berjamaah. Harus kuakui, suaranya tidak kalah merdunya dengan suara imam tetap di mesjid berpemandangkan laut nan indah ini.
Namanya adalah Amar, ia adalah sahabat yang baru saja menjadi sahabatku dalam beberapa hari menjelang puasa ini. Serasa mendapatkan nikmat yang tiada tara, dengan kedatangan teman baruku ini membuat hidupku sedikit lebih cerah.
Amar adalah seorang mahasiswa perantau sama sepertiku; Ia berasal dari Aceh dan berkuliah di Kota Padang. Amar bukanlah berasal dari keluarga yang mapan, ia adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya hanyalah seorang petani yang tidak mendapatkan penghasilan kecuali dengan bersawah.
Adapun ibunya amar, berjualan kue dan kerupuk sambal keliling pasar dari jam enam subuh sampai sembilan, dan setelah selesai menjualkan dagangannya barulah ia pergi menyusul suaminya dengan membawakan beberapa dagangan kue yang tidak terjual. Sedangkan kerupuk sambal akan dititip di kedai-kedai kopi.
Amar sudah dua tahun yang lalu merantau menuntut ilmu dan gelar di tanah perantauan. Kini dia sedang mempersiapkan diri untuk tahap-tahap akhir yang banyak mahasiswa terjebak, buntu, dan berhenti di tengah jalan ini. Lagi-lagi, alasannya adalah finansial ataupun perekonomian ini.
Selain itu, amar juga tidak ingin menjadi mehasiswa yang hanya lewat tanpa mendapatkan ilmu apapun. Sepulang dari berdagang, ia akan langsung mengulang apa yang di diskusikan diruangan kelas, serta mencatatkn kekurangan-kekurangan yang ada pada materi ataupun diskusi. Oleh karena itu, ia menjadi di senangi oleh dosen-dosen yang masuk.
Amar juga sedang mempersiapkan diri untuk menyambung sekolahnya ke luar negri, baik dari segi ekonomi dan bekal ilmu. Walaupun amar diberi kabar akan mendapatkan bantuan dari negara kelahirannya, berupa biaya gratis dan uang jajan selama berkuliah di Kota Padang dan universitas impiannya, sekali-kali tidak membuatnya berleha-leha. Ia malah menasehati diriku kalau uang negara itu tidak dipakai berlama-lama, dan seharusnya diberikan kepada yang lebih membutuhkan untuk mengurangi beban negara dan memajukannya.