Lihat ke Halaman Asli

Sehatkan Golkar Melalui Ketua yang Sehat!

Diperbarui: 27 Februari 2016   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: teropongsenayan.com"][/caption]

Konflik dualisme Partai Golkar jelas merugikan kader dan potensi sumber daya partai. Lebih jauh, partai politik yang berkonflik, apalagi sebesar Partai Golkar, tentu akan berimplikasi pada terganggunya stabilitas politik nasional. Bisa dibilang ini adalah sejarah terkelam perjalanan partai senior itu di kancah perpolitikan nasional. 

Partai Beringin berada di titik nadir. Sederet kronik mewarnai perjalanan partai yang tak bisa jauh dari lingkaran kekuasaan itu.

Pilkada serentak 2015 menjadi bukti Golkar tak lagi menyandang status jawara Pilkada seperti biasanya. Ia “babak belur”. Prestasi buruk inilah yang harus dibenahi dengan memilih pemimpin yang bisa menyehatkan kembali partai.

Intrik demi intrik membuat Golkar seakan kehilangan figur pemersatu. Upaya islah menyiratkan kandungan polemik yang tidak sederhana. Apalagi menjelang Munaslub pada bulan April nanti. Berbagai isu memperlihatkan bagaimana elit Golkar saat ini seperti lebih mengutamakan jalur-jalur praktis menuju kekuasaan, dan terkesan bukan berniat menyehatkan namun malah meruncing perbedaan. Padahal Golkar memiliki agenda utama: memanaskan mesin politik untuk bertarung di Pilkada 2017. 

Sinyal ini menguat menjelang Munaslub saat sejumlah nama mulai bermunculan menyatakan kesiapan menjadi Ketum. Sebut saja Ade Komarudin (Akom), Setya Novanto (Setnov), dan Aziz Syamsudin yang terlihat serius. Menyusul ada Idrus Marham, Mahyudin, Prio Budi Santoso, Syahrul Yasin Limpo, dsb. Terakhir tersebut pula nama Airlangga Hartarto, salah satu Ketua DPP hasil Munas Riau.

Yang pertama, perhatian tertuju pada orang nomor 1 DPR, Ade Komarudin (Akom). Mantan ketua fraksi yang sekarang menjadi Ketua DPR menggulingkan, maaf, menggantikan Setya Novanto paska skandal memalukan transkrip rekaman pembicaran terkait Freeport.

Bagi banyak kader partai beringin yang paham sosok Akom dan kiprahnya selama ini maka mereka lebih ingin Akom lebih fokus memimpin DPR. Konsentrasi kekuasaan akan terlalu besar di Akom jika ia menjadi Ketum Golkar sekaligus Ketua DPR. Dua-duanya lembaga penting untuk dibenahi. Apalagi bagi Golkar, mereka harus bersiap menghadapi pilkada serentak 2017, 2018 dan pemilu nasional 2019.

Problem lainnya adalah Akom selain punya banyak kawan, juga punya banyak musuh di internal partai. Terlalu licin, sulit dipercaya, menurut seorang tokoh senior Golkar.

Ketum baru nanti haruslah orang yang bisa mempersatukan semua kalangan partai hingga ke level daerah. Memberikan harapan baru dan mampu merangkul. Serta satu hal lagi, memiliki sumber pendanaan yang kuat dan independen. Seorang pimpinan partai Golkar di daerah menyatakan khawatir jika partai dipimpin oleh sosok yang tidak jelas sumber keuangannya, pejabat negara yang rentan dituduh korupsi atau malah menjadi sekedar 'wayang' dari sejumlah cukong.

Kedua, perhatian tertuju pada mantan Ketua DPR yang sekarang menjadi Ketua Fraksi, Tuan Setya Novanto alias Setnov. Tukar tempat dengan Akom. Ia disebut-sebut salah satu aktor utama (atau aktor pendukung?) yang menjadi korban (dikorbankan) dalam drama 'permafiaan' Papa Minta Saham Freeport beberapa waku lalu. Masih segar 'Ketoprak Humor' Sidang MKD dengan lakon "Kuguyur Kau dengan Ratusan Miliar, Jangan kau Gusur Aku dari DPR, cukup Gugurkan Statusku dari Ketua DPR"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline