Lihat ke Halaman Asli

Wo Ai Ni, Hok

Diperbarui: 12 Oktober 2021   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto kolase karya @samudra

Semburat cahaya keemasan masuk melewati celah ujung jendela yang sedikit terbuka. Perlahan ku gerakkan lutut. Perih. Sakit menyeruak, menyusur ujung syaraf. Semua raga tergetar. Tanpa sadar Mulutku merintih melepaskan sengatan ngilu. Bekas operasi pengganti tempurung yang mulai keropos ini térnyata masih belum sembuh benar.

Ini, entah kali keberapa niat ku untuk bertemu dengan mu selalu tertunda. Selalu ada duka mengerubungiku ketika hasrat  menggelora. Kali pertama ketika aku ingin menjumpaimu aku terjatuh dikamar mandi dan mesti operasi pengganti tempurung lutut. Setelah itu, aku kembali terus mencarimu.  Hongkong, Dongguan, Guangzhou dan Makau. Pencarian terbaruku harus kembali pupus karena Akiong sakit. aku harus segera kembali pulang karena tidak ada yang menjaganya. Ini, kali kesekian setelah ku membeli tiket dan membereskan segalanya.

Bayang ku selalu dirimu.  sewaktu masih belia kita selalu bersama. Cita mu untuk menjadi guru, penyemangatku untuk mengantarmu ke dermaga setelah terbitnya Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1959.  Melepas kepergianmu ke negeri tirai bambu, asal nenek moyang kita. Harapanku, engkau kembali dan kita bersama menjalani asa seperti yang terpahat di kulit pohon kelapa dalam lingkaran hati cinta ada nama kita.  Wo ai ni, Hok. Aku cinta kamu, Hok. Selamanya. Meski tiada pernah bisa kuutarakan bila kita bersama.

Sementara dirimu berjuang melanjutkan cita, diriku melanjutkan hidup. Bertahan dalam nestapa. Perantau ditempat kelahiran. Aku tidak mengerti,mengapa kita selalu menyebut tanah kelahiran ini sebagai tanah perantauan. Hanya warna kulit dan ujung mata yang membuat kita berbeda. Sesekali, kumandang bahasa ibu memberi warna. Sisanya sama. Kamu, aku, ibu, bapak, cici, koko, ai, ii, Aliong dan Ailing adalah sama dengan siapa pun di negeri ini.

Sejak kepergianmu, memang tidak ada kabar yang kuberitakan. Hanya air mata dan doa dikuatkan  dupa, kukirimkan ke udara. Semoga aromanya menyeruak ke penjuru klenteng terus ke selasar jalan setapak, pojok rumah warga hingga menguap ke ujung langit. Aroma yang sama. Langit yang sama yang kita tatap sejak belia.

Langit yang kala pagi, siang hingga sore yang kita habiskan bersama di Sukabumi. Dipinggir pantai, tempat pertama kali kau kecup keningku. Langit yang sama ketika engkau rebahan di sisiku setelah seharian kita berlari, bercanda dan tertawa sesudah sesekali kita berenang menyongsong ombak.

Masih kah engkau ingat ketika kita berjanji akan selalu bersama. Masihkah engkau merasakan demburan ombak dan tiupan angin menggoyang samudera. Ditengah lautan, dengan bantuan pelampung ban karet kita berjanji akan mengarungi laut kehidupan ini hingga ke tepian.

Mimpiku ingin bersamamu tidak pernah luntur. Perasaanku selalu tumbuh dan terus berkecambah setelah kepastian tentang mu secara tidak sengaja kudapatkan dari Ai Lani. Ai Lani bercerita tentang perkembangan Quangzou yang pesat. Gedung gedung pencakar langit, pabrik megah, jalanan luas membentang, rumah sakit, sekolah tertata rapi.

“Ada kita yang dari Sukabumi sekarang menjadi kepala sekolah,” kata Ai Lani,sambil menggambit nakal tanganku seakan menegaskan bahwa kisah lama kita dulu mendapatkan restunya. Ai Lani bisa memastikan dirimu tetap menyendiri tanpa pengganti diriku.

Aku bahagia Karena ternyata engkau masih setia memegang janji kita bersama. Aku kecewa dan tak kuasa menghadapmu karena mesti engkau tahu aku telah mengkhianati mu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline