Hampir dua bulan, Online Single Submission (OSS) berjalan di bawah kendali Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Sejak diluncurkan pemerintah pada 8 Juli 2018 yang lalu, beragam permasalahan pun muncul di seperti yang sudah diprediksi (baca di artikel "Tantangan OSS"). Bermacam suara mendengung di kantor-kantor, di warung-warung, dan pelbagai platform media massa. Perizinan terganggu. Investasi terhambat. "OSS harus dibatalkan." Demikian opini yang akhirnya mencuat.
Setiap kali mendengar keluhan, baik secara lisan maupun tulisan, saya merasa tercubit untuk membuka kembali peraturan lalu berselancar di ompung Google. Mencari pokok permasalahan dan dasar-dasar hukum topik yang dipermasalahkan agar semuanya terlihat lebih jelas. Mencari fakta yang bertebaran di internet adalah langkah yang sangat bijak sebelum menjatuhkan justifikasi. Berikut ini adalah hasil penelusuran saya yang sederhana lagi awam tentang polemik OSS.
OSS Terlalu Dipaksakan dan Terburu-buru
Lebih panjang tentang ini pernah saya tulis dengan judul "Riwayat OSS". Secara ringkas, bahwa konsep OSS (dulu memakai istilah One Stop Service) telah dikaji sejak awal tahun 2000an.
Saat memasuki dunia birokrasi di tahun 2005, saya sendiri sudah menemukan materi-materi kajian dan seminar tentang OSS di arsip kantor. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono bahkan telah dua kali mengeluarkan Peraturan Presiden untuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang tak lain adalah OSS, yaitu Perpres No. 27 Tahun 2009 dan Perpres No. 97 Tahun 2014. Konsep Online Single Submission yang sekarang ini juga sudah dikaji sejak 2016 sebelum dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017.
Artinya, lebih dari tiga belas tahun konsep OSS ini digodok dan dikaji. Perubahan teknis pada sistem OSS yang ada sekarang ini juga sudah dikaji selama lebih dari setahun. Apakah OSS ini dipaksakan? Iya, jika merujuk pada instruksi Presiden Joko Widodo yang mengultimatum OSS harus dilaksanakan pada Maret 2018.
Instrumen belum siap. Sistem dan aturan hukum di berbagai kementerian/lembaga (K/L) hingga pemerintah daerah (pemda) belum siap pada bulan Maret 2018, hingga launchingnya harus tertunda dua kali, yaitu Maret dan Mei 2018 sebelum akhirnya terlaksana di Juli 2018.
Apakah pelaksanaan OSS ini terburu-buru? Relatif. Terburu-buru jika melihat tempo setahun yang diberikan Presiden (sejak Perpres 91/2017) untuk OSS harus berjalan, tetapi bahkan terlalu lama jika melihat sepuluh tahun ke belakang dimana pelaksanaan PTSP (OSS) yang ideal belum juga terlaksana. Belum lagi jika mengintip negara-negara maju yang sudah lebih dulu melenggang dalam penerapannya.
OSS Menabrak Otonomi Daerah
Undang-undang Pemerintahan Daerah (otonomi daerah) Nomor 22 Tahun 2004 dan direvisi terakhir kali di UU No. 23 Tahun 2014, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya, salah satunya adalah soal perizinan. Apakah OSS melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut? Tidak. OSS tidak mengambil alih kewenangan daerah untuk menerbitkan izin. Izin-izin pelaksanaan berusaha tetap dikeluarkan oleh pemda.
OSS hanya secara otomatis mengeluarkan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan hak akses kepabeanan pada saat pendaftaran. TDP sendiri adalah "tanda daftar" bukan izin dan akses kepabeanan juga bukan kewenangan pemerintah daerah.