Lihat ke Halaman Asli

Bergman Siahaan

TERVERIFIKASI

Public Policy Analyst

Merdeka Belajar, Konsep Pendidikan Orisinal Indonesia Yang Tertukar

Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kelas (AI)

Jujur, saya skeptis dengan penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan pada tahun 2021 silam. Apalagi saat itu, Kementerian Pendidikan malah digabung dengan Kebudayaan yang membuat urusannya semakin luas menggerus fokus. Dasar pemikiran saya klise, ia masih muda, bukan berlatar belakang pendidik, dan tidak punya pengalaman empiris.

Nadiem adalah anak orang berada yang sekolahnya relatif bagus. Pendidikan tingkat menengah hingga tingginya pun dikecap di luar negeri. Saat ia dilantik menjadi menteri, putri sulungnya masih balita. Pastilah ia tak punya keresahan akan praktik sekolah konvensional pada umumnya, baik sebagai murid maupun sebagai orang tua. Itu yang melayang di pikiran saya.

Keresahan

Saya sendiri telah merasakan langsung bagaimana sekolah alam mendemonstrasikan sistem pendidikan yang saya rasa terbaik untuk pengembangan jasmani dan mental anak saya. Sekolah anak-anak saya di Selandia Baru kemudian semakin membuka pikiran saya tentang konsep pendidikan yang ideal. Sebagai murid dan orang tua, saya juga sudah merasakan sekolah dasar konvensional pada umumnya, sehingga keresahan-keresahan itu pun berakumulasi.

Keresahan akan kurikulum pendidikan dasar dan usia dini yang terlalu prematur untuk perkembangan otak, motorik, dan kognitif anak. Pekerjaan rumah yang membebani psikis anak dan juga orang tua. Standarisasi ujian akhir yang sarat kecurangan namun sukses merongrong mental anak didik yang jauh dari prinsip equality.

Minimnya gerak tubuh, sentuhan alam, dan proyek riset dalam proses belajar. Pendidikan karakter yang cenderung terlupakan, seperti budaya antri, kejujuran, peduli lingkungan, dan tanggap darurat. Belum lagi tas yang terlalu berat untuk dipanggul setiap harinya karena berisi beragam buku yang bolak-balik dibawa ke rumah dan ke sekolah.

Keresahan terhadap sistem pendidikan yang mendewakan angka nilai, memangkas imajinasi, dan membekap kreativitas atas nama keteraturan dan kepatuhan. Kurikulum yang memaksa anak yang terlahir berbeda untuk serupa dengan standar yang sama.

Juga tentang kurikulum yang menghabisakan energi dan waktu anak untuk mempelajari berbagai ilmu yang belum dibutuhkan anak sesuai usianya dan bahkan ada yang tidak terpakai seumur hidupnya. Menghabiskan energi dan waktu untuk menghapal teori yang harusnya lebih mudah dipahami melalui cara praktik.

Kembali ke pengangakatan Nadiem Makarim sebagai Menteri, apa kompetensi dan relasinya seorang pengusaha bidang teknologi digital, meski pun lulusan Harvard University, mengurusi dunia pendidikan? Protes inilah yang ada di benak saya saat itu. Namun waktu perlahan menjawab keraguan itu.

Merdeka Belajar

Saya pikir Nadiem belajar dengan baik. Ia mendengar dengan jelas dan mengamati dengan cermat. Ia belajar tentang pergeseran sistem pendidikan global, meminta analisis tim ahli dan praktisi pendidikan lainnya, hingga melakukan studi lapangan di dalam dan luar negeri. Lahirnya kebijakan menghapus ujian nasional dan kemudian Kurikulum Merdeka.

Ah, apa itu Kurikulum Merdeka, cibir sebagian orang. Cuma istilah buatan seorang Nadiem? Saya menjawabnya, bukan! Jauh sebelum Nadiem jadi menteri, tahun 2010, Sekolah Alam, tempat putri saya mengecap Taman Kanak-Kanak, telah mengusung istilah itu. Pun saya yakin istilah atau konsep Merdeka Belajar itu telah ada jauh sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline