Lihat ke Halaman Asli

Bergman Siahaan

TERVERIFIKASI

Public Policy Analyst

Menjadi Orang Asing untuk Memahami Orang Asing

Diperbarui: 20 Januari 2021   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: banksinarmas.com

Sesungguhnya manusia itu adalah sama, terlebih di mata Tuhan. Sudah kadung terjadi bahwa ras manusia berevolusi jadi beragam. Sistem sosial dan politik kemudian mengotak-ngotakkan wilayah yuridiksi sehingga terciptalah status kewarganegaraan.

Pengalaman sebagai WNA

Pengalaman menjadi warga negara asing (WNA) di negara lain mungkin mempengaruhi pandangan seseorang terhadap WNA di negerinya sendiri. Saya pernah merasakan jadi WNA di Selandia Baru selama masa pendidikan. 

Sebagai seorang WNA, saya ingin diterima baik di sana. Saya ingin menikmati sudut-sudut negara yang indah itu sama seperti warga setempat. Berhubung tingkat kenyamanannya lebih baik, wajar jika saya ingin tinggal lebih lama dan kalau bisa memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara setempat.

Jika saya melakukan kesalahan, saya pun ingin diberi sanksi sesuai aturan yang berlaku yang sama dengan warga negara setempat. Karena pada hakikatnya, saya adalah manusia yang punya derajat yang sama dengan mereka, hanya takdir yang membuat saya terlahir menjadi warga negara yang asing bagi mereka.

Meski Selandia Baru adalah salah satu negara yang sangat terbuka dengan pendatang dan menjunjung tinggi toleransi, mereka tidaklah steril terhadap aksi rasis. Satu-dua kasus tetap saja muncul di lapangan tetapi langsung dihakimi oleh masyarakat mereka sendiri. Penghakiman diberikan langsung secara lisan maupun secara tulisan melalui media massa dan media sosial.

Sanksi moral dari masyarakat inilah yang mungkin membedakan Selandia Baru dengan negara lain. Seingat saya, kita di Indonesoa jarang menegur orang lain yang melakukan tidakan rasis. Lelucon-lelucon bernada rasis ironisnya malah dianggap lucu oleh banyak orang.

Sebagai seorang asing, tak bisa dipungkiri, saya merasa dinomorduakan. Kadang saya berprasangka sedang dilecehkan padahal mungkin orang-orang tidak berniat begitu. 

Prasangka-prasangka seperti itu yang membentuk sedikit rasa tidak nyaman. Ungkapan "lebih baik hujan batu di negeri sendiri" pun muncul di benak dan mendorong keinginan pulang.

Pemikiran saya mungkin telah diracuni prinsip-prinsip rasisme. Saya merasa berbeda karena terlihat berbeda, bukan karena kartu identitas yang tersimpan rapat di dompet. Padahal, seperti negara-negara di Eropa, Selandia Baru juga diterpa gelombang imigran yang besar hingga negara itu benar-benar multikultural.

Banyak pendatang telah memiliki status kewarganegaraan Selandia Baru atau setidaknya status Permanent Resident yang haknya nyaris sama dengan warga negara. WNA yang cuma "numpang lewat" seperti saya saja diberi beberapa hak yang sama dengan warga negara mereka seperti gratis menyekolahkan anak, layanan kesehatan dan bekerja. Secara umum, WNA are very welcome di sana. Bagaimana di Indonesia?

WNA di Indonesia

Dulu, semua penduduk di Timor Timur adalah warga negara Indonesia (WNI). Rasnya sama dengan penduduk asli Nusa Tenggara Timur. Fenomena politik dalam sekejap mengubah mereka menjadi WNA. Tak sedikit keluarga-keluarga di sana yang akhirnya "terpisah" status kewarganegaraan yang otomatis membedakan perlakuan hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline