Lihat ke Halaman Asli

Bergman Siahaan

TERVERIFIKASI

Public Policy Analyst

ASN: Dari Jurus Tolak Covid-19 ke Prinsip Utilitarianisme

Diperbarui: 4 Oktober 2020   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kolase pribadi

Lebih setengah tahun Covid-19 telah merajalela, para ASN (Aparatur Sipil Negara) pun berjatuhan. Mulai dari pejabat teras hingga staf, tua dan muda, dari Sabang sampai Merauke. Covid-19 memang tak pandang bulu. Asal itu manusia, ia serang.

Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta menambah daftar yang sudah cukup panjang. Terdapat kasus hampir di semua institusi: kementerian, non-kementerian, rumah sakit, pemerintah daerah, kepolisian, sila di-gugling, beritanya ada di mana-mana. Itu masih yang masuk berita, belum yang tidak terpublikasi.

Sejak bulan Maret 2020, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebenarnya telah menghimbau agar ASN bekerja dari rumah (work from home). Tentu ada pengecualian bagi yang duduk di pos pelayanan publik yang tak bisa ditinggal. Tetapi sudah rahasia umum kalau banyak pos-pos di birokrasi yang bisa "ditinggal" dan dikerjakan secara remote.

Beberapa lembaga dan organisasi perangkat daerah memang memberlakukan WFH. Biasanya setelah terdapat kasus di lingkungannya. Tetapi bukan kebijakan secara menyeluruh. Mayoritas birokrasi masih diharuskan bekerja di kantor bermodalkan protokol kesehatan. Tidak adanya panduan manajemen WFH yang kuat dari pemerintah pusat mungkin menjadi penyebab kondisi tersebut.

Konteks ASN yang dimaksudkan di sini sangat berbeda dengan insan medis yang harus mengambil risiko demi kemanusiaan. Lain halnya juga dengan sektor perdagangan dan informal lainnya yang harus tetap keluar rumah untuk mencari nafkah. Banyak ASN yang pekerjaannya bersifat administratif di belakang meja dan penghasilannya tidak harus tergantung kehadiran fisik.

Ibarat dalam kondisi perang, panglima harus bisa menyusun strategi dalam menempatkan personilnya. Sebisa mungkin menghemat sumber dayanya alih-alih mengirimnya semua ke garis depan atau membuka pertahanan dan membiarkan pasukannya berjatuhan diterjang musuh.

Jujur sajalah, ada bagian-bagian yang tidak mendesak untuk bekerja di kantor. Efisiensi akibat pengalihan anggaran ke penanganan dampak Covid-19 bahkan menolkan anggaran kegiatan beberapa bagian. Cukup fair-lah jika mereka WFH saja. Apalah urgensinya datang ke kantor? Apakah kehadirannya sebanding dengan nyawa dan kehidupan keluarganya?

Prinsip utilitarianisme harus digunakan dalam kondisi ini, yaitu memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian. Pemerintah memang tak mungkin melakukan lockdown karena ekonomi harus berputar. Pemerintah juga tak bisa memaksa semua ASN di rumah karena harus ada yang melayani publik secara tatap muka. Tetapi pemerintah bisa menghemat sumber daya manusianya yang tidak harus terjun ke lautan virus tanpa manfaat yang signifikan.

Pemimpin harus mewajibkan ASN yang bersifat administratif dan memungkinkan bekerja secara online untuk WFH. Kantor sebisa mungkin merubah ventilasi tertutup menjadi terbuka. Meminimalkan rapat tatap muka terlebih di ruangan sempit dan ber-AC. 

Peralatan sanitasi hingga suplemen vitamin harus disediakan untuk pegawai yang terpaksa ke kantor. Instansi harus punya rencana ketahanan jika ada pegawai yang terinfeksi. Misalnya bagaimana antisipasi penangannya termasuk bantuan untuk keluarganya. Pendataan pegawai dan tamu harian untuk keperluan tracing juga penting dilakukan.

Kita sekarang dalam masa "perang". Musuh terus memborbardir siang dan malam. Korban terus berjatuhan setiap hari. Rumah sakit-rumah sakit sudah kewalahan menampung penderita. Fasilitas medis di beberapa kota bahkan menolak rujukan karena penuh. Pasien non-Covid-19 pun turut terlantar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline