Pada tanggal 4 Mei 2020, jumlah kasus COVID-19 baru di Selandia Baru menjadi nol. Artinya tidak ada penderita baru yang terdata hari itu. Mengapa bisa? Langkah yang diambil Selandia Baru dalam menangani pandemi ini sebenarnya tak jauh beda dengan yang dilakukan negara-negara lain, yaitu pengawasan hingga penutupan pintu masuk, himbauan isolasi mandiri, lalu melakukan lockdown.
Namun, Selandia Baru disebut-sebut sebagai salah satu negara yang berhasil menekan penyebaran virus SARS CoV-2, si penyebab pandemi COVID-19 itu.
Membandingkan Selandia Baru dengan Indonesia memang keliru karena keduanya sangat berbeda dari berbagai aspek. Luas Selandia Baru, 268.021 km2, hanya separuhnya Pulau Sumatera.
Penduduknya pun cuma 4,9 juta jiwa. Kira-kira sebanyak penduduk Bali jika digabung dengan Nusa Tenggara Barat. Sistem pemerintahan sentralistik dan Westminster khas persemakmuran Britania Raya juga sangat berbeda dengan sistem otonomi daerah di Republik Indonesia.
Tetapi rasanya sayang juga kalau tidak memperhatikan apa yang terjadi ketika penulis ter-lockdown selama 33 hari di Lower Hutt, sebuah kota di Selandia Baru.
Jikapun tidak untuk di-copy-paste, fakta ini bisa bermanfaat untuk menambah wawasan dan kearifan penulis serta pembaca tentunya. Untuk melengkapi pemahaman, ada baiknya melihat linimasa kebijakan Selandia Baru di tautan ini.
Tantangan-tantangan
Tantangan pertama Pemerintah Selandia Baru dalam menangani pandemi ini adalah bagaimana mencegah kepanikan masyarakat. Setelah berita COVID-19 menguasai media-media pada bulan Februari 2020, tanda-tanda kepanikan sebenarnya sudah terlihat. Tisu toilet dan hand sanitizer kosong di rak-rak supermarket. Orang-orang mulai membeli bahan pokok melebihi kebiasaan hingga pihak toko pun membatasi jumlah pembelian beberapa jenis barang.
Puncak panic buying terjadi setelah pengumuman rencana lockdown oleh Perdana Menteri, Jacinda Ardern. Orang pun mengantri di supermarket dan toko makanan siap saji.
Namun, Perdana Menteri segera meyakinkan masyarakat bahwa stok bahan kebutuhan pokok Selandia Baru masih banyak dan akan tetap ada setiap hari selama masa lockdown.
Pidatonya diputar berulang-ulang di televisi, disebarkan di media sosial, dan dipampang di depan supermarket-supermarket dalam bentu poster. Kepanikan masyarakat pun terlihat menurun.