Lihat ke Halaman Asli

Gajah Sumatera, Nasibmu Kini

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1291630403106271272

Setelah mendengar berita mengenai kematian 5 ekor gajah sumatera di Riau, tepatnya di perkebunan kelapa sawit di Dusun Lubuk Kandis Kecamatan Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu pada hari Jumat tanggal 26 November 2010, membuat saya menjadi miris dan sedih. Kembali berulang-ulang kasus kematian mamalia terbesar di Asia ini terjadi. Kompleksnya permasalahan di sebuah kawasan hutan di negara kita ini dan kurangnya kepedulian warga negara terhadap kekayaan biodiversitynya membuat cepatnya terjadi laju kepunahan satwa dan flora yang ada di Indonesia.

Berdasarkan data WWF, pada periode Januari-Maret tahun 2010 tercatat empat ekor gajah sumatera yang mati di Riau (Tribunenewspekanbaru.com). Saya tidak tahu berapa ekor yang tidak tercatat. Baik kasus-kasus yang terjadi di Riau, Bengkulu, Jambi, Lampung, Medan dan Aceh. Mungkin saja kasus-kasus kematian gajah sumatera terjadi disana dan tidak terpantau oleh media.

Karena saya berkesempatan beberapa kali mengunjungi Pusat Konservasi Gajah Seblat, Bengkulu Utara. Baik dalam rangka penelitian untuk tugas akhir saya sewaktu kuliah dulu maupun terkait dengan upaya penyelamatan habitat gajah sumatera di Bengkulu. Maka saya akan mencoba menceritakan seperti apa kondisi salah satu habitat gajah sumatera di Provinsi Bengkulu.

Pusat Konservasi Gajah Seblat (PKG Seblat)

PKG Seblat Bengkulu merupakan kawasan hutan dengan fungsi khusus yang luasnya hanya 6.865 ha. Khusus karena didalamnya ada habitat gajah dan kawasan ini ingin dijadikan tempat pelatihan gajah. Keputusan ini dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK Menhut No. 658/Kpts-II/1995. Keputusan dibuatnya PKG Seblat karena pada tahun 1988 konflik antara manusia dan dan gajah mulai terjadi di Provinsi Bengkulu.

Di Sumatera populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) pada tahun 1992 diperkirakan 2800-5000 ekor. Namun pada tahun 2007 populasi ini berkurang drastis menjadi 2400-2800 ekor (Gajah Action Plan 2007). Sementara populasi gajah sumatera di Bengkulu berdasarkan informasi yang saya dapat dari BKSDA Bengkulu, jumlahnya pada tahun 1992 sekitar 375-390 ekor. Sedangkan sekarang jumlah populasinya sekitar 120-140 ekor.

Ada banyak sekali permasalahan yang terjadi di PKG Seblat, mulai ancaman perkebunan kelapa sawit, perambahan oleh masyarakat dan illegal logging. Kawasan PKG Seblat saat ini posisinya berada ditengah-tengah perkebunan kelapa sawit skala besar. Ada beberapa perkebunan kelapa sawit yang mengelilingi PKG Seblat, diantaranya PT Agricinal, PT Alno dan PT Mitra Puding Mas. Luas masing-masing perkebunan ini sudah ada yang mencapai 15.000 ha.

Gajah merupakan hewan yang pintar dan mempunyai daya ingat yang tinggi. Tidak mengherankan jika gajah mempunyai jalur jelajah yang tetap dan ingat akan sesuatu yang pernah mengganggunya. Berat satu ekor gajah dewasa bisa mencapai 3-4 ton. Sedangkan kebutuhan makannya dalam sehari adalah 10% berat badannya. Satu ekor gajah minimal mempunyai range area sekitar 200 ha. Jadi bisa anda bayangkan berapa sebenarnya luas kawasan yang harus ada di PKG Seblat sebagai habitat dan tempat tinggal gajah disana.

Semakin terancamnya keberadaan satwa gajah di Asia termasuk di Indonesia pada tahun 1996 IUCN sudah memasukkan satwa gajah kedalam The IUCN Red List of Threatened Species atau kedalam daftar merah spesies terancam punah. Dan saat ini satwa gajah juga sudah masuk kedalam Apenddix I CITES.

Di Bengkulu terdapat dua kantong gajah yang tersisa, yaitu Kelompok PKG Seblat (HPT Lebong Kandis-Hutan Produksi Air Rami), dan Kelompok Air Teramang. Sebelumnya pada tahun 1992 terdapat delapan kantong habitat gajah. Jumlah gajah liar yang ada di PKG Seblat saat ini diperkirakan sekitar 60-80 ekor. Selain itu juga teradapat 21 ekor gajah binaan dan terdapat flora dan satwa lainnya seperti tapir, harimau sumatera, beberapa jenis primata dan berbagai jenis burung. Gajah binaan ini ditangkap pada tahun 90'an saat banyaknya gajah-gajah yang masuk ke perkebunan dan pemukiman masyarakat. Setiap ekor gajah binaan dirawat dan dijaga oleh seorang pawang gajah atau mahot. Namun sekarang berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomer: P.48/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar serta kesepakatan para pemerhati gajah tidak diperkenankan lagi melakukan penangkapan gajah-gajah liar untuk dijinakan. Gajah-gajah yang dijinakkan dan dirawat di PKG terbukti tidak efektif dalam upaya penyelamatan gajah dan tidak ada jaminan gajah tersebut dirawat dengan baik. Banyak kasus gajah-gajah yang ada di PKG mati dalam jangka waktu yang tidak lama setelah proses penangkapan.

Luas kawasan PKG Seblat yang hanya 6.865 ha tidaklah memadai sebagai habitat kelompok gajah di PKG Seblat. lokasi ini telah dikelilingi oleh perkebunan sawit yang ikut menyebabkan pergerakan gajah menjadi semakin sempit dan hanya ada satu koridor yang menghubungkan antara PKG Seblat dengan TN Kerinci Seblat. Nasib koridor ini terakhir ketika saya kesana pada tahun 2008 sudah terputus oleh perambah dan sudah menjadi pemukiman masyarakat. Saat ini kawasan PKG Seblat benar-benar sudah terkurung oleh perkebunan sawit dan pemukiman masyarakat. Tinggal menunggu waktu saja human elephant conflicts yang akan terjadi di Bengkulu. Idealnya satu ekor gajah membutuhkan luas areal untuk makannya adalah 200 ha. Kebutuhan makan gajah adalah 5-10% dari berat badannya. Jika populasi gajah di PKG Seblat diperkirakan sekitar 80 ekor, maka luas areal yang dibutuhkan adalah 16.000 ha lahan berhutan.

Ancaman terhadap kelestarian satwa dan flora di kawasan hutan PKG Seblat saat ini semakin kompleks. Mulai dari pembukaan lahan hutan untuk perladangan oleh masyarakat, perambahan, illegal loging serta perburuan liar. Maraknya perburuan gading gajah, membuat kelangsungan hidup gajah-gajah jantan yang ada di PKG Seblat semakin terancam. Selain itu juga banyak gajah-gajah yang dibunuh dengan cara diracun disaat mereka memasuki areal perkebunan masyarakat. Penyempitan kawasan karena semakin tingginya tikat konversi kawasan hutan di PKG Seblat membuat ruang gerak kelompok-kelompok gajah ini semakin tidak menentu. “Dulu sangat sulit sekali menemui kelompok-kelompok gajah liar disini. Sekarang sangat mudah kita bertemu dengan kelompok gajah liar. Kenapa? karena ruang geraknya sudah tidak menentu dan acak. Disaat sudah ada perkebunan sawit ataupun ladang masyarakat gajah-gajah ini diusir, disaat bergerak ketempat lain dan sudah ada ladang masyarakat diusir lagi. Padahal dulu itu jalur-jalur mereka untuk mencari makan. Sekarang sudah berubah semua menjadi perkebunan sawit dan ladang masyarkat. Tidak hanya diusir, kadang juga diracun karena dianggap hama, menggangu manusia. Padahal yang mengganggu itu sebenarnya siapa?” ucap Supryadi, seorang mahot yang sudah puluhan tahun merawat gajah-gajah yang ada di PKG Seblat. Supryadi juga menegaskan bahwa jika Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan juga kita sebagai warga negara khususnya warga yang ada disekitar kawasan PKG Seblat tidak peka dan tidak bertindak cepat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di PKG Seblat, maka kemungkinan 5-10 tahun kedepan gajah-gajah liar yang ada di Provinsi Bengkulu sudah dipastikan akan punah.

Seandainya tidak ada gajah di dunia ini knapa?

Pertanyaan tersebut keluar disaat kita berdiskusi panjang dan berdebat bagaimana caranya menyelamatkan habitat gajah di Bengkulu. Karena sudah merasa buntu mencari jalan keluarnya dan kompleksnya permasalahan yang ada di PKG Seblat, seorang teman mengeluarkan pertanyaan itu. "Apa yang terjadi jika tidak ada gajah di dunia? tidak ada ada bencana bukan?". Semua orang langsung diam dan tidak bisa menemukan jawabannya. Karena semua bingung, akhir saya menjawab "ya.. setiap yang namanya makhluk Tuhan itu punya hak untuk hidup dan punya tempat tinggal". Apakah ada jawaban lain selain jawaban saya? Beberapa peneliti menjelaskan kepada saya ketika saya memberikan pertanyaan yang sama seperti diatas bahwa gajah merupakah satwa pembuka jalur, karena sifatnya yang selalu bergerak dan memiliki postur tubuh yang besar. Jalur-jalur bekas gajah biasanya digunakan oleh satwa lain seperti harimau sumatera, kijang dan satwa lainnya. Gajah juga sebagai penyebar benih atau tumbuh-tumbuhan suatu daerah lainnya karena biji-bijian yang dia makan tidak hancur.

Diskusi ini terus berlanjut, Tahun lalu saya kembali lagi ke Bengkulu untuk berdiskusi dengan Kepala BKSDA Bengkulu beserta beberapa staffnya, NGO lokal dan beberapa temen media lokal. Saya dan beberapa teman NGO di Bengkulu mengadakan press conference terkait dengan upaya penyelematan habitat gajah sumatera di Provonsi Bengkulu. Mencoba mencari titik temu agar kepentingan keselamatan gajah dari kepunahan dan kebutuhan hidup masyarakat sekitar kawasan bisa terpenuhi. Beberapa hari setelah kegiatan saya ditelpon oleh Kepala BKSDA Bengkulu terkait dengan kegiatan yang kami buat. Diskusi dan perdebatan berlanjut di line telpon saat itu. Namun sampai sekarang belum ada titik temunya. Belum ada win win solution yang kita dapatkan.

Peningkatan status kawasan menjadi kawasan konservasi yang lagi diupayakan oleh BKSDA Bengkulu masih belum bisa direalisasikan. Dampak positif bagi masyarakat atas keberadaan kawasan konservasi diwilayah mereka belum bisa diramalkan secara baik. Sampai sekarang Kita masih mencari jawaban-jawaban apa manfaat bagi masyarakat jika status kawasan yang semula hutan produksi dengan fungsi khusus menjadi hutan konservasi?, kenapa gajah harus diselamatkan?, mengapa pemerintah daerah lebih baik memperluas areal perkebunan sawit daripada memikirkan upaya-upaya untuk penyelamatan gajah?, mengapa masih terjadi perburuan liar, mengapa masih terjadi illegal loging dan perambahan disekitar kawasan PKG Seblat? Apa yang salah dan mengapa semuanya bisa terjadi?? Pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan diatas sampai dengan sekarang belum ada jawabannya. Semua memang punya kepentingannya masing-masing. Tapi menurut pemikiran saya, semuanya perlu keseimbangan. Pembangunan dan peningkatan segi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sangat perlu untuk ditingkatkan. Tapi kelestarian sebuah ekosistem dan keseimbangan alam juga sangat perlu diperhatikan. Nah, bagaimana mempertemukan berbagai kepentingan ini, dengan latar belakang orang yang berbeda-beda?? Ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Een Irawan Putra

Lahir di Arga Makmur, Bengkulu Utara. Memiliki kepedulian terhadap keselamatan gajah sumatera dan habitatnya khususnya di Provinsi Bengkulu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline