Sang lelaki,
Pagi ini aku memandanginya kembali. Dari balik jendela kusamku, kutelusuri perjalanannya menuntun sepeda dari ujung jalan sana.
Pelan-pelan laksana aliran garis lurus tak terputus.
Sepeda kumbangnya ia tuntun di samping tubuhnya yang terbungkus setelan biru tua dan biru muda. Aku rasa, itu adalah seragamnya karena begitulah setiap hari mataku menangkap bayangannya dari atas jendelaku ini.
Rambutnya dikepang dua. Rapi. Jalannya lurus ke depan, nyaris tak pernah menoleh ke kanan dan ke kiri. Nampaknya ia sangat percaya diri sekali.
Dari sisi pandanganku yang rada menyamping, perempuan itu bak siluet ke samping. Kadang langkahnya seperti bayangan atau cermin yang memantul. Sepeda kumbang yang ia tuntun sebagian tertutup tubuh mungilnya.
Pagi seperti lebih berwarna dan bersuara indah lagi. Keelokan seorang perempuan yang nyaris tanpa kosmetika itu justru membuat aku terpana. Ia membuat mataku tak berkedip, tangan yang menopang daguku enggan berlalu menemani.
Bahkan mentari pagi yang kadang sinarnya menggoda menyengat, tak terlalu aku pedulikan. Yang penting pemandangan ini benar-benar bisa aku nikmati.
Pernah sekali waktu, tepat di tengah-tengah tembok memanjang bekas pabrik tua itu, ia mendadak berhenti. Aku yang semula menikmati segala bentuk yang dikerjakannya, sempat menarik diri ke dalam.