Lihat ke Halaman Asli

Ben Nurdiansyah

Millenial penerus generasi bangsa

Jogja Dipastikan Tak Dapat Piala Adipura Lagi, Kenapa?

Diperbarui: 7 Maret 2019   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seekor sapi memakan sandal karet di atas tumpukan sampah TPST Piyungan (Tribunjogja.com)

Sebelumnya mari sedikit mengenal apa itu Penghargaan Adipura dan apa bedanya dengan Kalpataru. Adipura adalah program penghargaan bagi kota yang dinilai bersih dan berhasil melestarikan lingkungan. Penghargaan ini dilakukan setiap tahunnya. Sementara Kalpataru adalah penghargaan kepada tokoh atau kelompok yang berjasa melestarikan lingkungan. Jadi, perbedaannya adalah kepada siapa penghargaan diberikan.

Adipura diberikan kepada kepala daerah yang bagus pengelolaan kebersihan di daerahnya, sementara Kalpataru diberikan kepada perorangan atau kelompok yang berjasa melestarikan lingkungan. Namun keduanya sama-sama dinilai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.

Diberitakan Radar Jogja bahwa Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Sleman dipastikan tidak akan menerima Piala Adipura lagi. Kenapa demikian? Masalah utamanya ada pada Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan yang tidak kunjung diperbaiki.

Apalagi, metode yang dilakukan di TPST Piyungan masih tradisional, yakni dengan menumpuk sampah. Memang, persyaratan minimal TPST menurut standar penilaian KLHK bukan lagi sistem open dumping. Kini, minimal harus menggunakan sistem controled landfill dan paling baik sistem sanitary landfill.

Beberapa rencana perbaikan tata kelola, seperti pengadaan TPA baru pun terhambat masalah ketersediaan lahan.

Permasalahan sampah dan TPST Piyungan sudah sepantasnya menjadi perhatian serius pemerintah kota, kabupaten, dan pemerintah provinsi. Perlu dipikirkan tata kelola sampah yang lebih baik lagi dan ini juga diperlukan kesigapan pemerintah.

Mengejar syarat minimum penilaian Adipura merupakan hal baik, tetapi orientasi utama yang harus dicapai bersama adalah menciptakan lingkungan DIY yang bersih. Kalau lingkungan bersih, tentu masyarakat merasa nyaman dan lebih sehat. Lingkungan hidup juga tidak makin rusak karena zat-zat berbahaya dari sampah.

Saya kira sosialisasi kepada masyarakat agar mengelola sampah sendiri bisa jadi solusi. Ditambah dengan program Bank Sampah di beberapa titik sebagai solusi yang lebih efektif. Masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan daerah.

Keterlibatan segenap elemen masyarakat dan pemangku kebijakan sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah sampah ini sebagai cara hidup serasi bersama lingkungan. Hal ini sejalan dengan misi Bambang Soepijanto selaku calon DPD DIY Nomor 24. Bambang memiliki program, salah satunya "Mewujudkan keserasian lingkungan hidup di seluruh wilayah Provinsi DIY".

Bambang Soepijanto adalah mantan Dirjen Planologi Kehutanan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Ia tumbuh sebagai "anak kolong" yang terbiasa disiplin dan kerja keras. Tak ikuti jejak ayah sebagai Brimob atau ikuti kehendak ayah menjadi tentara, ia lebih berminat terjun di dunia lingkungan hidup.

Ia menyelesaikan S1 di Jurusan Pertanian UPN Veteran Yogyakarta. Dengan latar belakang akademik dan profesi di bidang lingkungan hidup, saya rasa Bambang mampu berupaya mewujudkan kehidupan masyarakat yang selaras dengan lingkungan hidup dari ranah kebijakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline