Betapa luasnya kasih sayang Tuhan kepada setiap mahluk-Nya. Tidak peduli yang taat atau bahkan yang membangkang sekalipun. Ini mengingatkan kita betapa kasih saying Tuhan sungguh tak terbatas, bahkan akal pikiran manusiapun tak mampu untuk menjangkaunya. Tidak hanya kasih sayang yang dicurahkan kepada seluruh ciptaan-Nya, namun juga sifat ke-ADIL-anNya yang luar biasa. Tuhan tidak mengharapkan apa-apa dari manusia, dan sangat tidak memerlukan manusia. Namun, justru manusialah yang membutuhkan Tuhan dan justru manusia pulalah yang sesungguhnya tidak adil terhadap Tuhan. Anehnya adalah kebanyakan manusia berkoar-koar menyalahkan Tuhan, menganggap bahwa Tuhan ini tidak adil tidak sayang kepada mereka yang mengaku hamba Tuhan.
Antara “Spite” dan “Envy”
Manusia saat ini sering sekali diperdaya oleh manisnya duniawi yang menggiring mereka justru menuhankan dunia daripada Tuhan mereka yang Esa. Segala sesuatunya yang nampak dihadapan manusia dianggap kurang apabila tidak mendatangkan kepuasan tertentu. Sudah memiliki ‘satu’ masih merasa kurang dan ingin segera mengejar yang ke ‘dua’, dan sudah memiliki ‘dua’ masih saja ingin mencari yang lebih dari itu. Begitu seterusnya, merasa kuang, kurang dan kurang. Ini mengindikasikan adanya ketidakpuasan manusia terhadap sesuatu yang diinginkannya, bukan sesuatu yang dibutuhkannya. Semua itu cenderung kepada hal yang bersifat meterialistik dan keduniawian, bukan cenderung mencari keberkahan dan rasa syukur atas apa yang sudah dihadiahkan Tuhan kepada mereka. Berangkat dari rasa ketidakpuasan manusia, bukan tidak mungkin akan menempuh berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Bahkan dengan menghalalkan segala cara, bukan menggunakan cara yang halal. Ini menandakan adanya kedengkian dan rasa iri dengan apa yang sudah didapat oleh seseorang. Lalu mengapa kita tidak bercermin terlebih dahulu, lihat siapa diri kita? Sudah pantaskah kita seperti yang lain? Sudah layakkah kita mendapatkan apa yang sudah didapat oleh orang lain? Dalam kasus ini, kata INTROSPEKSI DIRI mungkin itu adalah kata yang tepat.
Apabila kita menilik filsafat Sunan Kalijaga, “Lir-ilir”, tentunya manusia sangatlah paham dan bahkan hafal bait demi bait tembang “Lir-ilir” tersebut. Betul memang, kita sudah “nglilir” kita sudah terbangun. Jasad kita, badaniyah kita memang sudah terbangun akan tetapi hati kita belum, akal pikiran kita belum, mental kita belum, naluri kita sama sekali belum terbangun. Semua yang dituju hanyalah materi, posisi, kedudukan, harga diri di hapadan sesama manusia dan segalanya yang bersifat sekularisme. Tanpa mereka menyadari kesemuanya itu akan membawa mereka kepada sifat hedonism semata. Pada lirik “Lir-ilir” terdapat lirik yang berbunyi, “cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu peneknen” mengingatkan kita di sana secara implisit terdapat pesan moral yang sangat menyentuh sendi-sendi kehidupan kita di dunia.
Setelah manusia terbangun dan letih dengan sendirinya atas apa yang sudah dilaluinya di alam kehidupan yang kejam ini, pada akhirnya mereka menemukan titik jenuh yang luar biasa. Tidak tahu harus bersandar ke mana, tidak tahu harus meratapi semua ini kepada siapa. Analogi buah “belimbing” pada lirik “penekno belimbing kuwi” menuntut kita untuk berpikir kritis apa yang seharusnya kita kerjakan untuk menuju kepada siapa sesungguhnya kita bersandar. Buah belimbing memiliki 5 (lima) ruas atau bagian di setiap sisinya. Mengingatkan kita untuk kembali kepada kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Meskipun itu sulit dikerjakan dan penuh dengan tantangan-tantangan yang mengahadang dan tidak jarang menemui jalan yang terjal untuk dapat memenuhi semuanya itu. Karena memang terlalu banyak godaan dan rayuan duniawi yang membuat kita terlena bahkan hanyut ke dalamnya untuk meninggalkan “5 sisi” dari filsafat buah belimbing tadi. Itu mengapa dilanjut dengan lirik yang berbunyi “lunyu-lunyu peneknen”. Meskipun itu sulit, tetapi sebagai manusia yang berakal bahkan berpikir dengan baik harus tetap dihadapi setiap tantangan dan rintangan yang menghadang. Apakah kita semua sudah “nglampahi” – melakukan dan mengerjakan 5 sisi tersebut dengan baik? Tidak hanya sekedar mengerjakan dan melakukan, namun apakah sudah disinkronisasikan dengan perilaku kita, karakter kita, sifat kita bahkan hati kita? Sudahkah kita menjaga hubungan interaksi sosial yang baik, membangun hubungan vertikal dan horisontal yang baik? Mari kita sama-sama renungi semua itu. Apabila semua itu belum, berarti kita yang belum memperlakukan Tuhan dengan adil.
Kita butuh Tuhan
Ini menandakan bahwa sesungguhnya kita memang benar-benar membutuhkan kasih sayang Tuhan, bukan Tuhan yang butuh kita. Tidak. Jika selama ini Tuhan senantiasa memberikan apa yang kita butuhkan, sudahkan kita bersyukur dan patuh terhadapNya? Dengan kita mengingat dan menjalankan perintah-perintah Tuhan, setidaknya kita sudah berusaha untuk berlaku adil terhadap Tuhan. Memang masih jauh dari yang namanya sempurna dan tidak akan mencapai puncak kesempurnaan, tetapi setidaknya kita berupaya untuk berlaku adil dan membentuk behavior yang tangguh, berakhlak mulia dengan dilandasi cinta kasih terhadap sesama dan juga cinta kasih kepada Tuhan tentunya.
Tuhan Maha Adil tinggal kita sebagai manusia apakah sudah berbuat adil kepada Tuhan dengan mentaati perintahNya serta menjauhi laranganNya? Sudah semestinya kita menjaga hubungan secara vertikal kepada Tuhan dan secara horizontal kepada sesama manusia. Dengan begitu harmonisasi kehidupan ini dapat tercipta dengan selaras. Tidak perlu harus terlihat manis di luar, yang utama adalah hati kita dapat dijaga dalam keadaan BAIK. Cukuplah terlihat “luwes” di mata semua yang memandangnya.
Semarang, 4 Juli 2014 (Kantor BPMP, ± pukul 10.00 – 13.30 WIB)
Disela-sela menunggu waktu Jum’atan hingga kembali ke kantor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H