Lihat ke Halaman Asli

Hakim dalam Senyap

Diperbarui: 2 Oktober 2018   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara kicauan burung sriti masih terdengar riang. Sinar mentari terasa hangat membelah kabut tipis yang menyelimuti perbukitan kapur. Rozi masih termenung di ruangannya sejak kemarin sore. Matanya tampak merah dan rambutnya kusut. Laptop kerjanya tertutup rapi. Hanya gerak tangan kirinya yang tiap beberapa menit menggaruk kepala botaknya sambil menyandarkan badannya hingga melengkung kebelakang di kursi kerjanya.

Sejak keputusan rapat dewan guru kemarin siang, hasrat Rozi untuk pulang ke rumah mendadak hilang. Mulutnyapun seolah tidak mau menerima apapun, yang mungkin dapat merubah cita rasa pahitnya. Dia duduk menghadap jendela menatap bukit gersang yang tidak jauh dari sekolahnya.

Suara ketokan pintu tiba-tiba membangkitkanya. Dia berjalan lesu dan membuka pintu ruangannya. Seorang siswinya dengan kemeja kerah kotak-kotak warna abu-abu muncul dari balik pintu.

" Selamat datang Rina. Silahkan masuk! Aku tidak mengira kamu datang sepagi ini. Ini baru jam setengah tujuh."

"Aku tidak ingin teman-teman melihatku. Dan aku mendapat info dari Pak Jarwo tukang kebun kalau bapak tidak pulang semalam." Jawab Rina sambil merundukkan kepala. Tampak sekali wajah remajanya kini telah mulai matang. 

Dengan hati-hati Rina mengambil kursi dan duduk menghadap kursi kerja Rozi. Rambut keritingnya kelihatan masih belum tertata dan sama halnya dengan Rozi, matanyapun tampak merah dan bengkak.

" Ini tentu menjadi momen yang berat buatmu. Sebuah momen yang nanti akan menentukan masa depanmu." Rozi menghadap ke jendela membelakangi Rina.

" Semua sudah terjadi pak. Tentu tidak ada pilihan lain selain menanggung segala akibatnya. Setidaknya aku pernah merasakan bahagia." Rina kembali menangis. " Akupun tidak akan melupakan ajaran bapak. Bukankah itu yang selalu bapak sampaikan, bahwa seorang remaja harus berani mengambil tanggung jawab agar dapat tumbuh menjadi manusia dewasa?"

" Betul, namun tidak seperti ini yang aku harapkan. Aku berharap kamu tumbuh sebagai seorang perempuan dewasa yang terpelajar. Itu tidak sulit buatmu." Rozi mengambil buku laporan aktifitas pembelajaran dari lacinya dan menaruhnya di hadapan Rina." Lihatlah prestasimu selama ini! Sebuah tindakan kekanak-kanakanmu telah merusak semua masa depanmu."

Rina terdiam memeriksa lembar demi lembar buku laporan itu.

*** 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline