Tak terasa sudah memasuki semester II saya berkuliah di salah satu universitas swasta di Bogor. Dan, pekan ini kami sedang menjalankan UTS. Semoga hasilnya baik.
Berangkat dari nyarisnya dua semester saya lewati, dari mulai masuk ke dalam ruang-ruang diskusi hingga menjadi partisipan politik di dalam kampus mulai saya jelajahi.
Ada yang unik dari budaya pergerakan di tiap-tiap kampus, termasuk di kampus saya yang ini. Di mana bukan cuma adu gagasan dan argumen, melainkan adanya adu ego dan sentimen. Tak paham juga bagaimana mulainya sejarah panjang konflik horizontal di tengah pergerakan mahasiswa yang konon katanya adalah agent of change, agen perubahan.
Ada pelbagai macam aroma ego dan aura sentimen di beranda pergerakan mahasiswa, tapi yang paling kental terasa adalah tegang dan renggangnya hubungan antara mahasiswa yang numpang belajar di organ ekstra dan mahasiswa yang numpang belajar di organ intra.
Permasalahan yang pertama adalah, tingginya ego dari kawan-kawan yang turut belajar di organisasi eksternal sehingga tak ingin menurunkan benderanya walau hanya seinchi. Ini bisa menjadi salah satu dari akar permasalahan yang nantinya akan terus membuat pergerakan mahasiswa menjadi lemah dan terpecah-pecah.
Lalu yang kedua adalah, adanya public distrust yang dilanggengkan oleh oknum-oknum mahasiswa yang berkecimpung di organisasi ataupun unit kegiatan internal kampus. Walaupun terkadang hal-hal yang dilontarkan ataupun diargumenkan masihlah bias, subyektif dan cenderung diskriminatif.
Yang ketiga adalah, merasa unggulnya teman-teman organ ekstra atas mahasiswa dari organ internal kampus. Mereka merasa kajiannya sudah lebih maju, mendalam dan komprehensif dibandingkan teman-teman internal yang dianggap hanya fokus kepada satu cabang keilmuan saja.
Yang keempat adalah, masih banyaknya oknum mahasiswa yang bermental sok kuasa. Yang kalau kata Gie adalah mahasiswa-mahasiswa yang merintih ketika ditekan, tapi menindas mahasiswa lain ketika ada kesempatan.
Sebetulnya masih banyak lagi sepertinya yang menjadi faktor lemahnya gerakan mahasiswa, atau tak banyaknya orang-orang yang mah bergabung pada gerakan. Dikarenakan takut ditempeli stigma, yang kelak stigma tersebut akan bertransformasi menjadi sentimen yang kadang-kadang sangat tidak objektif.
Tapi, karena saya yang masihlah bodoh ini belum cukup paham bagaimana pergerakan mahasiswa seharusnya bergulir seperti yang diinginkan, diharapkan atau bahkan pernah dijalankan oleh senior-senior terdahulu. Maka saya memutuskan untuk menarik diri dari organisasi mahasiswa eksternal yang saya jadikan tempat saya belajar serta mendiskusikan yang saya pelajari, dan juga saya berencana menarik diri dari tiap-tiap gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa.
Karena mau bagaimanapun nurani saya bergetar ataupun air mata saya jatuh ketika melihat ketidak-adilan yang begitu masif dikokohkan, saya tetaplah hanya MABA bodoh yang tak perlu didengarkan apalagi dipertimbangkan pendapatnya.